Hidup yang Tidak Sia-sia
Pengkotbah 1:1-14, 2:18-23; Mazmur 49;
Kolose 3:1-11;
Lukas 12:13-21
Sukses dan kaya berbeda dengan orang yang mencintai
uang. Sukses dan kaya adalah hasil usaha dan ketekunan yang konstruktif dan
cerdas. Sebaliknya tipe orang yang mencintai uang belum tentu dia sukses dan
kaya. Sebab orang yang hidup dalam kekurangan atau kemiskinan juga bisa
mencintai uang. Inti pengajaran Yesus dalam Lukas 12:13-21 bukanlah anti
terhadap kekayaan. Yesus mengingatkan bahaya dari sikap serakah atau ketamakan.
Di Lukas 12:15 Yesus berkata: “Berjaga-jagalah
dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang
berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya
itu.” Kata “tamak” berasal dari kata pleonexia,
yang artinya: “keinginan tak terpuaskan untuk memiliki apa yang
seharusnya menjadi hak orang lain.” William Barclay mendefinisikan sebagai
sikap yang mengejar kepentingan pribadi dengan mengabaikan hak-hak orang lain
tanpa pertimbangan kemanusiaan.
Problem
etis yang utama bukan karena tokoh dalam kisah Injil Lukas 12:13-21 mampu
merombak lumbung-lumbungnya untuk membangun usaha yang lebih besar, tetapi
bagaimanakah ia mengumpulkan uang untuk melakukan semua pengembangan bisnis dan
rumahnya. Sejauh ia mampu mengumpulkan uang dengan cara yang benar dan jujur,
Allah akan memberkati. Tetapi karena ia bersikap serakah, maka ia berhasil
memeroleh kekayaan dengan cara merampas hak orang lain dan berlaku kejam.
Kekayaan yang diperoleh bukan dilandasi oleh nilai-nilai etis-moral dan
spiritualitas iman. Itu sebabnya Yesus menyebut ia tidak kaya di hadapan Allah.
Makna “tidak kaya” di hadapan Allah memakai kata plousios, artinya seseorang yang melekat kepada kekayaannya
daripada kepada Allah Sang Sumber Kehidupan. Kata plousios dapat kita lihat pula di Lukas 18:23, yaitu: “Ketika orang itu mendengar perkataan itu, ia menjadi
amat sedih, sebab ia sangat kaya.” Konteksnya adalah ia sedih sebab Yesus
menyuruh orang kaya tersebut menjual hartanya. Ia sedih karena melekat dengan
kekayaannya. Karena itu keserakahan atau ketamakan adalah sikap rohaniah yang
melekat dengan sesuatu sehingga ia menghalalkan segala cara dan berlaku kejam
kepada sesamanya.
Menurut
ukuran iman, keserakahan atau ketamakan bukan hanya buruk secara etis-moral
tetapi juga dikategorikan dengan penyembahan berhala. Di Kolose 3:5 Rasul
Paulus berkata: “Karena itu matikanlah dalam dirimu segala sesuatu yang
duniawi, yaitu percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat dan juga
keserakahan, yang sama dengan penyembahan berhala.” Dengan demikian ketamakan
merupakan tindakan yang secara rohaniah memberhalakan materi dan uang sebagai ilah. Orang-orang yang tamak adalah para
penyembah berhala walau secara formal mereka berstatus sebagai orang
Kristen/beragama. Sesungguhnya mereka tidak menyembah dan mempermuliakan Allah
tetapi harta atau uangnya. Di Lukas 12:34 Yesus berkata: “Karena di mana
hartamu berada, di situ juga hatimu berada.” Jika demikian yang perlu
diwaspadai bukanlah kekayaan tetapi bagaimanakah sikap hati kita. Sebab sikap
hati kita yang akan menentukan bagaimanakah kita harus menempatkan setiap harta
milik secara tepat dan benar di hadapan Allah. Karena itu ketamakan bisa
dilakukan oleh siapapun juga apakah dia seorang yang kaya ataukah miskin,
berpendidikan tinggi atau biasa, beragama atau kurang beragama.
Urgensi hidup umat manusia adalah bagaimanakah
dia hidup di hadapan Allah? Inilah dimensi terdalam dari spiritualitas. Pada
sisi yang lain kualitas dari spiritualitas kita ditentukan oleh sikap iman
yaitu relasi personal dengan Allah. Seharusnya relasi personal dengan Allah
yang dihayati sebagai iman memurnikan spiritualitas umat sehingga umat mampu
jujur di hadapan Allah. Karena itu kunci untuk menghancurkan setiap keserakahan
atau ketamakan adalah jujur di hadapan Allah (coram Deo). Kita akan mampu jujur di hadapan Allah, jikalau kita
mengasihi Dia dengan segenap hati, jiwa, dan akal-budi kita. Spiritualitas
jujur di hadapan Allah akan memampukan umat untuk mengambil jarak terhadap segala yang dimiliki,
sehingga “orang-orang yang mempergunakan barang-barang duniawi seolah-olah sama
sekali tidak mempergunakannya. Sebab dunia seperti yang kita kenal sekarang
akan berlalu” (1Kor. 7:31). Sebab spiritualitas “jarak” dalam sikap iman
memampukan kita untuk tidak melekat kepada semua harta milik. Sebab kita hanya
mau melekat kepada Allah, dan bukan kepada ilah-ilah dunia ini.
Jikalau
demikian, apakah Saudara masih melekat dengan milik yaitu harta, uang,
properti, kedudukan dan kekuasaan? Jika ya,
berarti kita masih menyembah berhala. Karena itu tidaklah mengherankan jikalau
kita dalam hidup sehari-hari mempraktikkan keserakahan dan manipulasi.
(Disarikan dari kotbah Pdt. Yohanes Bambang Mulyono - GKI
Perniagaan, Minggu 31 Juli’16 oleh YBM)
No comments:
Post a Comment