Sunday, August 7, 2016

Ringkasan Khotbah - 31 Juli 2016

 Hidup yang Tidak Sia-sia
Pengkotbah 1:1-14, 2:18-23; Mazmur 49; 
Kolose 3:1-11; Lukas 12:13-21

Sukses dan kaya berbeda dengan orang yang mencintai uang. Sukses dan kaya adalah hasil usaha dan ketekunan yang konstruktif dan cerdas. Sebaliknya tipe orang yang mencintai uang belum tentu dia sukses dan kaya. Sebab orang yang hidup dalam kekurangan atau kemiskinan juga bisa mencintai uang. Inti pengajaran Yesus dalam Lukas 12:13-21 bukanlah anti terhadap kekayaan. Yesus mengingatkan bahaya dari sikap serakah atau ketamakan. Di Lukas 12:15 Yesus berkata: “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu.” Kata “tamak” berasal dari kata pleonexia, yang artinya: “keinginan tak terpuaskan untuk memiliki apa yang seharusnya menjadi hak orang lain.” William Barclay mendefinisikan sebagai sikap yang mengejar kepentingan pribadi dengan mengabaikan hak-hak orang lain tanpa pertimbangan kemanusiaan.

Problem etis yang utama bukan karena tokoh dalam kisah Injil Lukas 12:13-21 mampu merombak lumbung-lumbungnya untuk membangun usaha yang lebih besar, tetapi bagaimanakah ia mengumpulkan uang untuk melakukan semua pengembangan bisnis dan rumahnya. Sejauh ia mampu mengumpulkan uang dengan cara yang benar dan jujur, Allah akan memberkati. Tetapi karena ia bersikap serakah, maka ia berhasil memeroleh kekayaan dengan cara merampas hak orang lain dan berlaku kejam. Kekayaan yang diperoleh bukan dilandasi oleh nilai-nilai etis-moral dan spiritualitas iman. Itu sebabnya Yesus menyebut ia tidak kaya di hadapan Allah. Makna “tidak kaya” di hadapan Allah memakai kata plousios, artinya seseorang yang melekat kepada kekayaannya daripada kepada Allah Sang Sumber Kehidupan. Kata plousios dapat kita lihat pula di Lukas 18:23, yaitu: “Ketika orang itu mendengar perkataan itu, ia menjadi amat sedih, sebab ia sangat kaya.” Konteksnya adalah ia sedih sebab Yesus menyuruh orang kaya tersebut menjual hartanya. Ia sedih karena melekat dengan kekayaannya. Karena itu keserakahan atau ketamakan adalah sikap rohaniah yang melekat dengan sesuatu sehingga ia menghalalkan segala cara dan berlaku kejam kepada sesamanya.

Menurut ukuran iman, keserakahan atau ketamakan bukan hanya buruk secara etis-moral tetapi juga dikategorikan dengan penyembahan berhala. Di Kolose 3:5 Rasul Paulus berkata: “Karena itu matikanlah dalam dirimu segala sesuatu yang duniawi, yaitu percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat dan juga keserakahan, yang sama dengan penyembahan berhala.” Dengan demikian ketamakan merupakan tindakan yang secara rohaniah memberhalakan materi dan uang sebagai ilah. Orang-orang yang tamak adalah para penyembah berhala walau secara formal mereka berstatus sebagai orang Kristen/beragama. Sesungguhnya mereka tidak menyembah dan mempermuliakan Allah tetapi harta atau uangnya. Di Lukas 12:34 Yesus berkata: “Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada.” Jika demikian yang perlu diwaspadai bukanlah kekayaan tetapi bagaimanakah sikap hati kita. Sebab sikap hati kita yang akan menentukan bagaimanakah kita harus menempatkan setiap harta milik secara tepat dan benar di hadapan Allah. Karena itu ketamakan bisa dilakukan oleh siapapun juga apakah dia seorang yang kaya ataukah miskin, berpendidikan tinggi atau biasa, beragama atau kurang beragama.

Urgensi hidup umat manusia adalah bagaimanakah dia hidup di hadapan Allah? Inilah dimensi terdalam dari spiritualitas. Pada sisi yang lain kualitas dari spiritualitas kita ditentukan oleh sikap iman yaitu relasi personal dengan Allah. Seharusnya relasi personal dengan Allah yang dihayati sebagai iman memurnikan spiritualitas umat sehingga umat mampu jujur di hadapan Allah. Karena itu kunci untuk menghancurkan setiap keserakahan atau ketamakan adalah jujur di hadapan Allah (coram Deo). Kita akan mampu jujur di hadapan Allah, jikalau kita mengasihi Dia dengan segenap hati, jiwa, dan akal-budi kita. Spiritualitas jujur di hadapan Allah akan memampukan umat untuk mengambil jarak terhadap segala yang dimiliki, sehingga “orang-orang yang mempergunakan barang-barang duniawi seolah-olah sama sekali tidak mempergunakannya. Sebab dunia seperti yang kita kenal sekarang akan berlalu” (1Kor. 7:31). Sebab spiritualitas “jarak” dalam sikap iman memampukan kita untuk tidak melekat kepada semua harta milik. Sebab kita hanya mau melekat kepada Allah, dan bukan kepada ilah-ilah dunia ini.

Jikalau demikian, apakah Saudara masih melekat dengan milik yaitu harta, uang, properti, kedudukan dan kekuasaan? Jika ya, berarti kita masih menyembah berhala. Karena itu tidaklah mengherankan jikalau kita dalam hidup sehari-hari mempraktikkan keserakahan dan manipulasi.

 (Disarikan dari kotbah  Pdt. Yohanes Bambang Mulyono - GKI Perniagaan,  Minggu 31 Juli’16 oleh YBM)

No comments:

Followers

Terima Kasih Atas Kunjungan Anda


Kami Kerjalayan Kesehatan Anda

Kami Kerjalayan Kesehatan Anda