HIDUP BERGAIRAH DALAM SUKACITA DAN KEGEMBIRAAN TUHAN
Markus 7:1-23
Markus 7:1-23, yang sejajar Matius
15:1-20, menggambarkan sikap Yesus yang tegas dan kritis terhadap sikap orang
Yahudi atas aturan-aturan Taurat yang mereka pegang dan lakukan. Masyarakat
Yahudi memang sangat menekankan pemahaman yang harfiah dan formal atas
aturan-aturan Taurat yang mereka anggap sebagai firman Tuhan daripada memahami
lebih dulu jiwa atau motif-motif yang ada di balik aturan-aturan agama
tersebut. Sikap yang formalistis dan harafiah dalam menerapkan aturan-aturan
agama ini disertai dengan pamrih mendapat pahala (berkat dan sorga) dan pujian
dari Tuhan. Yang penting seperti bunyinya dilakukan dengan kaku, dan dengan
gampang menuduh orang yang tidak berlaku sama seperti mereka sebagai orang
berdosa atau, malahan, kafir. Pelaksanaan aturan-aturan itu tidak lagi
mempertimbangkan konteks atau situasi dan kondisi masa kini dari orang yang
memegangnya, yang kadang-kadang tidak kondusif untuk melaksanakannya. Sudah begitu,
lalu mereka terjebak pada perdebatan-perdebatan mengenai topik aturan agama
yang ‘remeh temeh’ dan ‘tetek bengek’ dan tidak prinsipil.
Hal-hal yang tidak terlalu penting itu dikaitkan dengan najis atau tidak
najisnya seseorang di hadapan Tuhan. Hal itu tampak dari contoh kasus yang
pertama, Markus 7:1-8. Ritus pembasuhan sendiri, tetapi aturan itu kemudian
dikenakan pada hal-hal yang remeh-temeh tadi, seolah-olah yang remeh-temeh pun
dari Tuhan asalnya.
Sikap memegangi aturan agama secara
harafiah dan formal itu tidak pernah bisa konsekuen dan konsisten, karena
mereka juga akhirnya melakukan ‘pelanggaran yang tampaknya bukan pelanggaran’
kalau ada kepentingan yang menguntungkan mereka. Markus 7:9-13 menyajikan kasus
ini. Seolah-olah memberikan korban bagi Tuhan menjadi lebih penting daripada
merawat dan mengobati orantua yang sedang sakit.
Dalam hal berdebat, atau
memperbincangkan aturan-aturan agama dan implementasinya dalam kehidupan
sesehari, orang Yahudi sangat bergairah. Semua yang berkaitan dengan hal-hal
yang teknis dan pernak-pernik yang tidak terlalu penting daripada jiwanya
sendiri.
Bagi orang Yahudi ‘hati’ (Ibrani lev ; Yunani kardia) bukan hanya soal perasaan, karena ‘hati’ adalah ‘inner life’ seseorang, tempat segala
macam pertimbangan, pengertian, perasaan, pusat segala macam emosi. Kalau
‘hati’-nya baik, mestinya tutur kata, sikap, tindakan, dan karakter yang baik
yang akan muncul keluar dan sebaliknya. Kalau hati sudah dikuduskan oleh Tuhan,
maka yang akan muncul adalah sikap, kata, tindakan baik yang membangun dan
berguna, otentik, bergairah, serta ajeg, bukan
dibuat-buat atau pura-pura, atau yang sementara saja.
Kegairahan menjalankan firman Tuhan
mesti dimulai dengan perubahan ‘hati’ lebih dulu berguna kemudian menguasai dan
mempengaruhi praktek kita menjalankan pesan firman itu dengan benar dan
bijaksana dan bukan sebaliknya.
(Diambil dari buku Dian Penuntun edidi 20 hal.
132-134)
No comments:
Post a Comment