Sunday, October 23, 2016

Ringkasan Khotbah - 16 Oktober 2016

BERIMAN DALAM KONSEP vs BERIMAN DALAM FAKTA
Lukas 18:1-8

Pada hiruk-pikuk masyarakat menjelang Pilkada DKI orang tersita oleh simpang siurnya ‘trending topic’ di media sosial tentang para kandidat Gubernur DKI.  Mulai dari puja puji yang terkesan menjadi kultus individu sampai dengan sumpah serapah dengan ungkapan-ungkapan vulgar termasuk di dalamnya penggunaan kalimat-kalimat suci dari kitab suci secara salah. Untuk beberapa hari orang Jakarta dibuat panik oleh berbagai berita tentang ‘demonstrasi besar-besaran’ pada hari Jumat tanggal 14 Oktober yang baru lalu. karena seorang kandidat dianggap menista agama lain.  Di tengah hiruk pikuk itu muncul satu tindakan yang kecil – dan tidak mendapat perhatian apalagi apresiasi – yakni Ahok menyatakan secara terbuka ‘meminta maaf’ apabila pernyataannya menyinggung fihak lain. Sudah lama kita tidak mendengar seorang pejabat yang masih aktif (apalagi yang sudah pensiun) menyatakan dua kata bertuah itu ‘meminta maaf’.  Malahan para koruptor yang tertangkap tangan tidak melakukannya. Padahal untuk semua agama, minta maaf dan memberi maaf itu menjadi salah satu ajaran utama dan sangat luhur. Jadi ungkapan ‘meminta maaf’ dari Ahok, bagi saya menjadi istimewa, karena dengan demikian di tengah kemunafikan masif masyarakat Indonesia masih ada sosok yang berintegritas yang dalam dirinya menyatu kehidupan beriman  bukan hanya dalam tataran pengertian atau kognitif tetapi dihayati sebagai sesuatu yang kongret ada dalam kehidupan ini. Ia beriman dalam konsep mau pun dalam fakta.
Tuhan konsekuen dengan perjanjian anugerah yang diikatnya dengan nenek moyang Israel bahwa Ia akan melindungi dan memberkati mereka. Ia konsisten menjalankannya, meski pun kadang susah kita mengerti. Ketika Yakub melakukan serangkaian kebohongan dan kelicikan terhadap saudara sendiri, Tuhan tetap memberkati dia seperti janji-Nya kepada Yakub. Di Betel, sesaat setelah Yakub kabur dari kampung halamannya karena ancaman pembunuhan oleh Esau, Tuhan menegaskan lagi bahwa Ia akan tetap memberkati Yakub.  Ketika Tuhan konsekuen dan konsisten dengan firman-Nya dengan mewujudnyatakannya, tidak begitu dengan Yakub. Ia memang merasakan berkat Tuhan yang sangat melimpah atas kehidupannya tetapi, meski pun ia tahu bahwa Tuhan menginginkan persaudaraan yang damai serta sikap moral yang baik, Yakub tidak melakukannya. Apa yang diketahui dan dimengertinya tidak sejalan dengan apa yang dilakukannya. Berkat Tuhan yang mestinya membuatnya berbahagia malah sebaliknya menjadi beban yang membuatnya selalu kuatir. Ia hidup dalam kegalauan, ketakutan, kekuatiran dan ketidak-nyamanan.
Tuhan memilih berurusan dengan Yakub, demi Yakub. Episoda sungai Yabok menjadi episoda yang menentukan hidup Yakub sesudahnya. Di sungai Yabok itu Tuhan mengajar Yakob tentang seharusnya satunya pemahaman iman dan perilaku kehidupan. Lewat cerita yang impresif ‘laki-laki’ itu bisa memaksa Yakob mengakui siapa (pribadi) Dia sesungguhnya untuk mendapatkan integritas kehidupannya. Yakob harus mengaku bahwa ia adalah Yakob yang artinya ‘si penipu’ atau ‘si licik’. Sikap terbuka, jujur, tidak mengindahkan gengsi dan mendahulukan yang baik dan benar di hadapan Tuhan membuahkan perubahan radikal. Di tidak lagi disebut ‘si licik’ tetapi ‘pahlawan Tuhan’ (Israel). Hidup Yakob yang selama ini bergantung pada kekuatan, bahkan kelicikan, sendiri sekarang berubah.
“Iman” dalam bahasa Ibrani ‘aman’ dan ‘aman’ tidak sama artinya dengan ‘aman’ kita yang berarti tidak ada ancaman, nyaman, tidak ada persoalan, dan hidup tenang karena ‘aman’ berarti ‘bergantung sepenuhnya kepada ...’ atau ‘menyandarkan diri sepenuhnya kepada ...’ Jadi dalam episoda sungai Yabok, Yakob menyatakan imannya kepada Tuhan. Ia memilih untuk berserah kepada Tuhan dan mengakui dengan jujur siapa pribadinya sebenarnya, dan Tuhan berkenan.  Tidak hanya perdamaian dengan saudara kembarnya, Esau, yang terjadi tetapi cara Yakob menghadapi berbagai masalah paska sungai Yabok sudah berbeda dengan kondisi pra Yabok. Masalah boleh datang silih berganti – Sikhem memperkosa Dina (putri tunggalnya), Simeon dan Lewi membalas dendam dengan membunuh Sikhem dan merampok kotanya, Yehuda membuat skandar dengan menantunya, Tamar, belum lagi masalah Yusuf dan kakak-kakaknya – tetapi Yakob bisa menghadapi dan melewatinya dengan menjalankkan dalam praksis nilai iman kepada Tuhan. Pernyataan menjelang kematiannya mengatakan :
“... Allah itu, sebagai Allah yang telah menjadi Gembalaku selama hidupku sampai sekarang, dan sebagai Malaikat yang telah melepaskan aku dari segala bahaya, ....” (Kejadian 48:15b-16a)

Pernyataan ini menjadi buah matang dari kedewasaan dan kematangan iman Yakub. Ia menjadi Israel yang berintegritas yang anak-anaknya kemudian dengan bangga menyebut diri mereka sebagai ‘bani Yakob’,

(Disarikan dari kotbah Pdt. Em. Samuel Santoso, 16 Oktober 2016, oleh SS )

No comments:

Followers

Terima Kasih Atas Kunjungan Anda


Kami Kerjalayan Kesehatan Anda

Kami Kerjalayan Kesehatan Anda