BERIMAN DALAM KONSEP vs
BERIMAN DALAM FAKTA
Lukas 18:1-8
Pada hiruk-pikuk masyarakat
menjelang Pilkada DKI orang tersita oleh simpang siurnya ‘trending topic’ di
media sosial tentang para kandidat Gubernur DKI. Mulai dari puja puji yang terkesan menjadi
kultus individu sampai dengan sumpah serapah dengan ungkapan-ungkapan vulgar
termasuk di dalamnya penggunaan kalimat-kalimat suci dari kitab suci secara
salah. Untuk beberapa hari orang Jakarta dibuat panik oleh berbagai berita
tentang ‘demonstrasi besar-besaran’ pada hari Jumat tanggal 14 Oktober yang baru
lalu. karena seorang kandidat dianggap menista agama lain. Di tengah hiruk pikuk itu muncul satu
tindakan yang kecil – dan tidak mendapat perhatian apalagi apresiasi – yakni
Ahok menyatakan secara terbuka ‘meminta maaf’ apabila pernyataannya menyinggung
fihak lain. Sudah lama kita tidak mendengar seorang pejabat yang masih aktif
(apalagi yang sudah pensiun) menyatakan dua kata bertuah itu ‘meminta
maaf’. Malahan para koruptor yang
tertangkap tangan tidak melakukannya. Padahal untuk semua agama, minta maaf dan
memberi maaf itu menjadi salah satu ajaran utama dan sangat luhur. Jadi
ungkapan ‘meminta maaf’ dari Ahok, bagi saya menjadi istimewa, karena dengan
demikian di tengah kemunafikan masif masyarakat Indonesia masih ada sosok yang
berintegritas yang dalam dirinya menyatu kehidupan beriman bukan hanya dalam tataran pengertian atau
kognitif tetapi dihayati sebagai sesuatu yang kongret ada dalam kehidupan ini.
Ia beriman dalam konsep mau pun dalam fakta.
Tuhan konsekuen dengan
perjanjian anugerah yang diikatnya dengan nenek moyang Israel bahwa Ia akan
melindungi dan memberkati mereka. Ia konsisten menjalankannya, meski pun kadang
susah kita mengerti. Ketika Yakub melakukan serangkaian kebohongan dan
kelicikan terhadap saudara sendiri, Tuhan tetap memberkati dia seperti
janji-Nya kepada Yakub. Di Betel, sesaat setelah Yakub kabur dari kampung
halamannya karena ancaman pembunuhan oleh Esau, Tuhan menegaskan lagi bahwa Ia
akan tetap memberkati Yakub. Ketika
Tuhan konsekuen dan konsisten dengan firman-Nya dengan mewujudnyatakannya,
tidak begitu dengan Yakub. Ia memang merasakan berkat Tuhan yang sangat
melimpah atas kehidupannya tetapi, meski pun ia tahu bahwa Tuhan menginginkan
persaudaraan yang damai serta sikap moral yang baik, Yakub tidak melakukannya.
Apa yang diketahui dan dimengertinya tidak sejalan dengan apa yang
dilakukannya. Berkat Tuhan yang mestinya membuatnya berbahagia malah sebaliknya
menjadi beban yang membuatnya selalu kuatir. Ia hidup dalam kegalauan,
ketakutan, kekuatiran dan ketidak-nyamanan.
Tuhan memilih berurusan
dengan Yakub, demi Yakub. Episoda sungai Yabok menjadi episoda yang menentukan
hidup Yakub sesudahnya. Di sungai Yabok itu Tuhan mengajar Yakob tentang
seharusnya satunya pemahaman iman dan perilaku kehidupan. Lewat cerita yang
impresif ‘laki-laki’ itu bisa memaksa Yakob mengakui siapa (pribadi) Dia
sesungguhnya untuk mendapatkan integritas kehidupannya. Yakob harus mengaku
bahwa ia adalah Yakob yang artinya ‘si penipu’ atau ‘si licik’. Sikap terbuka,
jujur, tidak mengindahkan gengsi dan mendahulukan yang baik dan benar di
hadapan Tuhan membuahkan perubahan radikal. Di tidak lagi disebut ‘si licik’
tetapi ‘pahlawan Tuhan’ (Israel). Hidup Yakob yang selama ini bergantung pada
kekuatan, bahkan kelicikan, sendiri sekarang berubah.
“Iman” dalam bahasa Ibrani
‘aman’ dan ‘aman’ tidak sama artinya dengan ‘aman’ kita yang berarti tidak ada
ancaman, nyaman, tidak ada persoalan, dan hidup tenang karena ‘aman’ berarti
‘bergantung sepenuhnya kepada ...’ atau ‘menyandarkan diri sepenuhnya kepada
...’ Jadi dalam episoda sungai Yabok, Yakob menyatakan imannya kepada Tuhan. Ia
memilih untuk berserah kepada Tuhan dan mengakui dengan jujur siapa pribadinya
sebenarnya, dan Tuhan berkenan. Tidak
hanya perdamaian dengan saudara kembarnya, Esau, yang terjadi tetapi cara Yakob
menghadapi berbagai masalah paska sungai Yabok sudah berbeda dengan kondisi pra
Yabok. Masalah boleh datang silih berganti – Sikhem memperkosa Dina (putri
tunggalnya), Simeon dan Lewi membalas dendam dengan membunuh Sikhem dan
merampok kotanya, Yehuda membuat skandar dengan menantunya, Tamar, belum lagi
masalah Yusuf dan kakak-kakaknya – tetapi Yakob bisa menghadapi dan melewatinya
dengan menjalankkan dalam praksis nilai iman kepada Tuhan. Pernyataan menjelang
kematiannya mengatakan :
“... Allah itu,
sebagai Allah yang telah menjadi Gembalaku selama hidupku sampai sekarang, dan
sebagai Malaikat yang telah melepaskan aku dari segala bahaya, ....” (Kejadian
48:15b-16a)
Pernyataan ini menjadi buah
matang dari kedewasaan dan kematangan iman Yakub. Ia menjadi Israel yang
berintegritas yang anak-anaknya kemudian dengan bangga menyebut diri mereka
sebagai ‘bani Yakob’,
(Disarikan dari kotbah Pdt. Em. Samuel
Santoso, 16 Oktober 2016, oleh SS
)
No comments:
Post a Comment