ALLAH MENDEKATKAN DIRI DAN BERBELAS KASIH
Ber-relasi adalah kebutuhan dasar
bagi
setiap insan dalam tiap generasi. Kini, ber-relasi lekat dengan
ketergantungan kita untuk terus terhubung dengan dunia maya. Namun, bukan
berarti kebutuhan untuk stay connected
hanya dimiliki oleh generasi masa kini. Di masa lalu, tetangga menjadi
‘saudara’ yang terdekat, yang pertama tahu saat terjadi suatu musibah atau
sukacita. Relasi dengan tetangga menjadi suatu keharusan di tengah masyarakat.
Apabila diperbandingkan dengan relasi yang terjadi di masa kini, maka kita
dapat melihat bahwa ada degradasi makna dalam ber-relasi. Manusia tidak lagi
ber-relasi karena kesadaran akan hidup bersama, bahwa kita adalah bagian dari
sesuatu yang jauh lebih besar, dan memang kita tidak mampu hidup sendiri
terlepas dari komunitas. Individualitas membuat relasi kita menjadi relasi yang
kering karena hanya dilandasi oleh pemuasan rasa ingin tahu (kepo) dan
keinginan untuk memperbandingkan hidup pribadi dengan orang lain. Semangat
kompetisi dan komparasi inilah yang menjadi dasar dari ada atau tidak adanya
relasi antar manusia. Inilah yang terjadi dalam Lukas 18:9-14. Dengan lugas,
penulis Injil Lukas menyatakan bahwa perumpamaan ini ditujukan bagi mereka yang
menganggap dirinya benar dan memandang rendah
orang lain. Sangat mudah
bagi kita untuk jatuh pada upaya memperbandingkan dan kemudian melakukan
penghakiman seperti dalam karikatur di bawah ini.
Lukas 18:9-14 bercerita
tentang dua orang yang datang untuk melakukan ibadah dalam doa. Doa orang
Farisi merupakan ungkapan syukur dirinya. Namun, apa yang ia syukuri? Ia
bersyukur karena ia tidak sama seperti
orang lain : ia bukan perampok, ia
bukan orang lalim, ia bukan pezinah,
dan ia bukan pemungut cukai. [1]
Terselip arogansi spiritualitas dalam doanya. [2] Ia memberi label negatif
terhadap ‘pemungut cukai’ dengan menyejajarkannya bersama dengan perampok,
orang lalim, dan pezinah. Sementara itu, doa pemungut cukai adalah doa
permohonan belas kasihan Tuhan atas dirinya yang berdosa. Ada pengakuan akan
kerapuhan jiwa dalam doa sang pemungut cukai. Kedua doa ini menjadi refleksi
bagi kita. Apa yang ada di dalam benak kita saat kita datang beribadah?
Keangkuhan, kesombongan, ataukah pengakuan akan kelemahan? Bukankah setiap
ibadah kita musti didasarkan pada pengakuan bahwa kita adalah insan yang lemah
dan rapuh, yang membutuhkan Tuhan yang merengkuh dan merangkul di dalam
hadiratNya? Ketika orang Farisi berdiri dan menengadah, sementara sang pemungut
cukai berdiri jauh dan tertunduk, dimanakah Allah? Yesus berkata, “Orang ini (pemungut cukai) pulang ke
rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu (Farisi).” Yesus memposisikan dirinya dekat dengan
sang pemungut cukai, dekat dengan mereka yang di-label, disingkirkan. Allah
yang tidak berdiam diri, melainkan Allah yang mendekatkan diri dan berbelas
kasih. Ketika Allah kita berbuat demikian, dimanakah kita? Apakah kita sibuk
menyombongkan diri, memberikan label-label terhadap sesama kita, dan kehilangan
kasih bagi mereka? Ataukah kita pun berdiri jauh, memandang diri dan sesama
yang terus memerlukan Allah, dan berjalan pulang dengan bersama-sama menghayati
kasih Allah tanpa batas dan label apapun. Amin.
(Disarikan
dari kotbah Pnt. Betharia K, 23 Oktober 2016, oleh BK )

No comments:
Post a Comment