Sunday, October 30, 2016

Ringkasan Khotbah - 23 Oktober 2016

ALLAH MENDEKATKAN DIRI DAN BERBELAS KASIH
Ber-relasi adalah kebutuhan dasar bagi setiap insan dalam tiap generasi. Kini, ber-relasi lekat dengan ketergantungan kita untuk terus terhubung dengan dunia maya. Namun, bukan berarti kebutuhan untuk stay connected hanya dimiliki oleh generasi masa kini. Di masa lalu, tetangga menjadi ‘saudara’ yang terdekat, yang pertama tahu saat terjadi suatu musibah atau sukacita. Relasi dengan tetangga menjadi suatu keharusan di tengah masyarakat. Apabila diperbandingkan dengan relasi yang terjadi di masa kini, maka kita dapat melihat bahwa ada degradasi makna dalam ber-relasi. Manusia tidak lagi ber-relasi karena kesadaran akan hidup bersama, bahwa kita adalah bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar, dan memang kita tidak mampu hidup sendiri terlepas dari komunitas. Individualitas membuat relasi kita menjadi relasi yang kering karena hanya dilandasi oleh pemuasan rasa ingin tahu (kepo) dan keinginan untuk memperbandingkan hidup pribadi dengan orang lain. Semangat kompetisi dan komparasi inilah yang menjadi dasar dari ada atau tidak adanya relasi antar manusia. Inilah yang terjadi dalam Lukas 18:9-14. Dengan lugas, penulis Injil Lukas menyatakan bahwa perumpamaan ini ditujukan bagi mereka yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah
orang lain. Sangat mudah bagi kita untuk jatuh pada upaya memperbandingkan dan kemudian melakukan penghakiman seperti dalam karikatur di bawah ini.



Lukas 18:9-14 bercerita tentang dua orang yang datang untuk melakukan ibadah dalam doa. Doa orang Farisi merupakan ungkapan syukur dirinya. Namun, apa yang ia syukuri? Ia bersyukur karena ia tidak sama seperti orang lain : ia bukan perampok, ia bukan orang lalim, ia bukan pezinah, dan ia bukan pemungut cukai. [1] Terselip arogansi spiritualitas dalam doanya. [2] Ia memberi label negatif terhadap ‘pemungut cukai’ dengan menyejajarkannya bersama dengan perampok, orang lalim, dan pezinah. Sementara itu, doa pemungut cukai adalah doa permohonan belas kasihan Tuhan atas dirinya yang berdosa. Ada pengakuan akan kerapuhan jiwa dalam doa sang pemungut cukai. Kedua doa ini menjadi refleksi bagi kita. Apa yang ada di dalam benak kita saat kita datang beribadah? Keangkuhan, kesombongan, ataukah pengakuan akan kelemahan? Bukankah setiap ibadah kita musti didasarkan pada pengakuan bahwa kita adalah insan yang lemah dan rapuh, yang membutuhkan Tuhan yang merengkuh dan merangkul di dalam hadiratNya? Ketika orang Farisi berdiri dan menengadah, sementara sang pemungut cukai berdiri jauh dan tertunduk, dimanakah Allah? Yesus berkata, “Orang ini (pemungut cukai) pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu (Farisi).” Yesus memposisikan dirinya dekat dengan sang pemungut cukai, dekat dengan mereka yang di-label, disingkirkan. Allah yang tidak berdiam diri, melainkan Allah yang mendekatkan diri dan berbelas kasih. Ketika Allah kita berbuat demikian, dimanakah kita? Apakah kita sibuk menyombongkan diri, memberikan label-label terhadap sesama kita, dan kehilangan kasih bagi mereka? Ataukah kita pun berdiri jauh, memandang diri dan sesama yang terus memerlukan Allah, dan berjalan pulang dengan bersama-sama menghayati kasih Allah tanpa batas dan label apapun. Amin.

 (Disarikan dari kotbah Pnt. Betharia K, 23 Oktober 2016, oleh BK )

No comments:

Followers

Terima Kasih Atas Kunjungan Anda


Kami Kerjalayan Kesehatan Anda

Kami Kerjalayan Kesehatan Anda