Saturday, February 18, 2017

Ringkasan Khotbah 12 Feb 2017

MEMILIH (meningkatkan mutu) KEHIDUPAN
Matius 5:17,21-37

Bagi para ahli taurat dan kaum Farisi mempunyai paradigma “melaksanakan aturan-aturan taurat secara hurufiah” (betapa pun itu adalah tafsiran manusia saja) akan membuat Tuhan memberikan ‘penghargaan’ (orang suka menggunakan kata ‘pahala) yang berupa hidup yang mulia, kaya raya, sukses dan yang semacam itu. Hidup baru ditemukan dan jadi mulia kalau seorang menaati ayat-ayat hukum taurat secara hurufiah dengan ketat dan disipilin. Jadi ada motif utama menjalankan aturan taurat yakni pamrih.
Tidak begitu dengan Yesus. Bagi Tuhan Yesus, Allah sudah mengaruniakan hidup dengan semua kelengkapannya kepada semua manusia, entah dipahami atau tidak malahan entah orang percaya kepada-Nya atau tidak. Hidup beriman berarti hidup yang menyadari sepenuhnya bahwa Tuhan sudah mengaruniakan hidup itu sendiri dan menyelenggarakannya dengan sempurna. Tetapi orang yang menyadari hal ini tidak berhenti sampai pada batas menyadari. Tuhan ingin hidup
itu dengan segala berkatnya dijalani secara benar sehingga terjamin kelangsungannya. Dalam rangka itu Ia memberikan ‘taurat-Nya’ – pedoman dan tuntunan ilahi’ untuk kehidupan bersama orang yang beriman dengan Tuhannya, sesamanya, menerima dirinya sendiri secara benar. Dengan begitu kehidupan – dengan semua yang menyertainya bisa dinikmati bersama secara benar dan seimbang. Kalau “taurat Tuhan” dijalankan maka motif utamanya adalah ‘kasih yang tulus’.
Dengan sangat tepat paradigma ini dirumuskan oleh Yesus seperti direkam dalam Matius 22:37-40
Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu, dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum ini tergantung seluruh hukum taurat dan kitab para nabi.”
Paradigma ini secara grafis menjadi segitiga sama sisi dengan Allah di sudut sebelah atas, aku/kami dan orang lain atau sesama di dua sudut di bawah. Di tengahnya hati sebagai lambang kasih.
Allah
aku                           sesama

Paradigmanya bukan hanya ‘aku’ dan ‘Allah’ apalagi kalau ‘aku’ berada di sudut atas ; tidak juga ‘aku’ sendirian saja ; bukan pula segitiga sama kaki yang jarak ‘aku’ dan ‘sesama’ lebih pendek ketimbang ‘Tuhan’ dengan ‘aku’ dan ‘sesama’. Paradigma ‘hidup harmonis dalam relasi segitiga sama sisi dengan Tuhan di sudut atas’ adalah hidup seperti yang diharapkan Tuhan dan ini menyejahterakan. Hidup semacam ini yang harus menjadi obsesi dan orientasi terus menerus dari orang-orang yang beriman kepada Kristus. Aturan-aturan agamawi diberikan, sekali lagi sebagai pedoman, tuntunan atau rambu-rambu petunjuk arah supaya orang sejahtera, Tuhan dimuliakan dan relasi dengan orang lain baik dan benar. Seimbang dalam aspek individual-sosial bukan hanya dengan sesama manusia tetapi juga, terutama, dengan Tuhan ; seimbang antara ritus dan kultus dan etika, moral, dan akhlak ; seimbang antara yang spiritual dan material.
(disarikan dari khotbah Pdt.Em. Samuel Santoso, tg. 12 Februari 2017, pk. 08.30 oleh ss)


No comments:

Followers

Terima Kasih Atas Kunjungan Anda


Kami Kerjalayan Kesehatan Anda

Kami Kerjalayan Kesehatan Anda