MEMILIH (meningkatkan mutu) KEHIDUPAN
Matius 5:17,21-37
Bagi para ahli taurat dan kaum Farisi mempunyai
paradigma “melaksanakan aturan-aturan taurat secara hurufiah” (betapa pun itu
adalah tafsiran manusia saja) akan membuat Tuhan memberikan ‘penghargaan’
(orang suka menggunakan kata ‘pahala) yang berupa hidup yang mulia, kaya raya,
sukses dan yang semacam itu. Hidup baru ditemukan dan jadi mulia kalau seorang
menaati ayat-ayat hukum taurat secara hurufiah dengan ketat dan disipilin. Jadi
ada motif utama menjalankan aturan taurat yakni pamrih.
Tidak begitu dengan Yesus. Bagi
Tuhan Yesus, Allah sudah mengaruniakan hidup dengan semua kelengkapannya kepada
semua manusia, entah dipahami atau tidak malahan entah orang percaya kepada-Nya
atau tidak. Hidup beriman berarti hidup yang menyadari sepenuhnya bahwa Tuhan
sudah mengaruniakan hidup itu sendiri dan menyelenggarakannya dengan sempurna.
Tetapi orang yang menyadari hal ini tidak berhenti sampai pada batas menyadari.
Tuhan ingin hidup
itu dengan segala berkatnya
dijalani secara benar sehingga terjamin kelangsungannya. Dalam rangka itu Ia
memberikan ‘taurat-Nya’ – pedoman dan tuntunan ilahi’ untuk kehidupan bersama
orang yang beriman dengan Tuhannya, sesamanya, menerima dirinya sendiri secara
benar. Dengan begitu kehidupan – dengan semua yang menyertainya bisa dinikmati
bersama secara benar dan seimbang. Kalau “taurat Tuhan” dijalankan maka motif
utamanya adalah ‘kasih yang tulus’.
Dengan sangat tepat paradigma ini
dirumuskan oleh Yesus seperti direkam dalam Matius 22:37-40
“Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu, dan dengan segenap
jiwamu, dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang
pertama. Dan hukum yang kedua yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu
manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum ini tergantung seluruh hukum
taurat dan kitab para nabi.”
Paradigma ini secara grafis menjadi
segitiga sama sisi dengan Allah di sudut sebelah atas, aku/kami dan orang lain
atau sesama di dua sudut di bawah. Di tengahnya hati sebagai lambang kasih.
Allah
![]() |
| aku sesama |
Paradigmanya bukan hanya ‘aku’ dan ‘Allah’ apalagi kalau ‘aku’ berada di sudut atas ; tidak juga ‘aku’ sendirian saja ; bukan pula segitiga sama kaki yang jarak ‘aku’ dan ‘sesama’ lebih pendek ketimbang ‘Tuhan’ dengan ‘aku’ dan ‘sesama’. Paradigma ‘hidup harmonis dalam relasi segitiga sama sisi dengan Tuhan di sudut atas’ adalah hidup seperti yang diharapkan Tuhan dan ini menyejahterakan. Hidup semacam ini yang harus menjadi obsesi dan orientasi terus menerus dari orang-orang yang beriman kepada Kristus. Aturan-aturan agamawi diberikan, sekali lagi sebagai pedoman, tuntunan atau rambu-rambu petunjuk arah supaya orang sejahtera, Tuhan dimuliakan dan relasi dengan orang lain baik dan benar. Seimbang dalam aspek individual-sosial bukan hanya dengan sesama manusia tetapi juga, terutama, dengan Tuhan ; seimbang antara ritus dan kultus dan etika, moral, dan akhlak ; seimbang antara yang spiritual dan material.
(disarikan dari
khotbah Pdt.Em. Samuel Santoso, tg. 12 Februari 2017, pk. 08.30 oleh ss)

No comments:
Post a Comment