Saturday, February 25, 2017

Ringkasan Khotbah 19 Feb 2017

Melepas keinginan membalas
Imamat 19:1-2; Mazmur 119:33-40; 1 Korintus 3:10-11, 16-23;
Matius 5:38-48

Ada masanya ketika ajaran Yesus ini betul-betul dihayati. Seruan Yesus ini dipraktikkan secara apa adanya, tanpa tafsiran dan penjelasan yang berbelit, tak ada berbagai dalih untuk memperhalusnya. Jemaat pada abad pertama hingga ketiga mempraktikkan hal ini. Salah satu buku pelajaran agama Kristen tertua dari abad pertama Didache, memperlihatkan betapa para pengikut Kristus menerima kata-kata Yesus ini apa adanya. 


Ternyata bukan hanya pada masa lampau yang jauh, pada abad lalu, ada seorang pendeta berkulit hitam, pejuang hak azasi manusia, juga mempraktikan ajaran ini apa adanya. Martin Luther King Jr. (1929-1968), menerapkan prinsip tanpa-kekerasan di tengah berbagai kekerasan yang dijalani para ‘pejuang’ hak azasi di Amerika Serikat. Pendeta King Jr., ini terinspirasi bukan saja oleh Kotbah Yesus di Bukit ini, melainkan juga dari seorang Hindu yang mengagumi Yesus dan ajaran Kotbah di Bukit, Mahatma Mohandas Gandhi (1869-1948). 

Kita mengetahui kisah akhir hidup Yesus, Gandhi, dan King Jr., yang tewas di tengah perjuangan tanpa-kekerasan ketika menghadapi-melawan kekuasaan dan kekerasan yang menekan. Dunia berduka, namun sekaligus semakin banyak orang terinspirasi dan gerakan perlawanan ‘tanpa-kekerasan’ ini menjadi gerakan yang tak pernah berhenti di tengah gelombang kekuasaan yang jahat, dan kekerasan yang menghantui kehidupan (termasuk praktik kekerasan yang dilakukan orang beragama).
Dalam pengajaran-Nya Yesus biasa memulai dengan norma yang umum. Bagi-Nya norma yang umum adalah titik-tolak yang wajar diikuti semua orang. Tanpa norma yang ada, orang tak dapat membedakan mana yang baik dari yang buruk, mana yang benar dari yang salah.
Norma umum, atau hukum yang berlaku seperti mata ganti mata, gigi ganti gigi, adalah hukum yang adil. Hukum yang membatasi dan mengatur pembalasan. Pada masyarakat kuno yang tidak menganut hukum pembalasan yang adil, berlakulah pembalasan yang membabi buta. Tanpa hukum pembalasan yang adil, seorang yang terluka tangannya, dapat membalas membabi buta dengan membunuh pelaku yang melukainya. Atau seorang yang terpotong tangannya, dapat menggerakkan keluarga dan teman-temannya untuk membantai keluarga orang yang memotong tangannya.
Sekalipun hukum pembalasan ini adil, Yesus menyerukan agar orang jangan melawan dan membalas kejahatan dengan kejahatan yang sama. Bahkan lebih jauh lagi… siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu. Menampar bukan memukul di muka. Menampar bukanlah untuk melukai, melainkan sebuah penghinaan. Menampar pipi kanan dengan sisi belakang tangan adalah penghinaan ganda. Jelaslah menampar dan memberi pipi ini bukanlah hal tentang menerima begitu saja atau pasrah terhadap perlakuan jahat yang kita alami. Sekali lagi, terhadap mereka yang melakukan kejahatan, dan mereka yang menghina, Yesus berseru agar kita tidak membalas dengan kejahatan dan kekerasan. Kejahatan dan penghinaan kita jawab dengan tidak melanjutkan dengan yang jahat, dan tak-merasa terhina. Sulit? Masih ada lagi.
Kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu. Bagian ini sangat dramatis bagi para pengikut yang miskin. Baju dan jubah adalah segala-galanya bagi mereka yang hidup di negeri bermusim dingin, apalagi sebagai orang miskin. Orang miskin masih mungkin untuk kehilangan bajunya, salah satunya karena dituntut oleh orang. Namun agar orang masih bisa melewati malam yang dingin, jubah masih harus dimiliki oleh si miskin. Bahkan dalam situasi yang paling aneh sekalipun, ketika seorang miskin dituntut orang untuk menyerahkan baju dan jubahnya, maka setiap malam orang yang mengambil jubah si miskin harus memberikan kembali jubah itu, agar si miskin – yang sudah telanjang – masih dapat tidur dengan berbalut jubahnya itu.
Yesus mengatakan pada para pengikutnya, bahkan bagi mereka yang paling miskin dan susah sekalipun, untuk tidak melawan, tidak membalas, ketika mengalami perlakuan yang paling tidak adil sekalipun. Berikan saja semua, bahkan lebih daripada yang diminta dengan paksa. Penghinaan dan penindasan dapat kita alami bukan sebagai penghinaan dan penindasan.

berjalanlah bersama dia sejauh dua mil. . . , Palestina pada abad pertama dikuasai Roma. Menurut hukum yang berlaku, tentara Romawi dapat memerintahkan siapa saja untuk menjadi keledai beban. Salah satu contoh yang ada dalam Injil Matius, adalah Simon Kirene yang diperintahkan tentara untuk memikul salib Yesus. Menurut hukum yang berlaku, tugas sebagai keledai beban ini maksimal satu mil. Orang Yahudi tahu bahwa setelah berjalan seribu langkah, satu mil, mereka berhak berhenti, dan meninggalkan begitu saja bebannya, di mana saja: di kubangan lumpur atau tempat-tempat lainnya untuk membalas perlakuan Roma yang memperbudak mereka.
Terhadap penindasan dan perlakuan sebagai budak seperti ini, Yesus menyerukan kepada para pengikut-Nya, agar mereka berlaku sebagai hamba yang rendah hati. Ketika orang merendahkan kita, dan memperlakukan kita sebagai budak, maka berlakulah sebagai orang yang bersedia melayani dengan baik. Perendahan dan pemaksaan kita jawab dengan kerelaan memberi diri, berbuat yang terbaik, dan menjadi berkat.
Berilah kepada orang yang meminta kepadamu dan janganlah menolak orang yang meminjam padamu. Dalam masyarakat Yahudi, setiap tahun ketujuh semua hutang-hutang dianggap lunas. Kali ini seruan Yesus tertuju pada mereka yang mampu memberi pinjaman, dan yang mungkin terganggu ketika orang datang pada tahun keenam untuk meminjam.
Seruan ini mengingatkan para pengikut-Nya supaya selalu memberi dengan murah-hati kepada orang-orang yang membutuhkan. Dalam masyarakat Palestina saat itu, orang meminjam bukan seperti orang meminjam di bank untuk modal usaha, seperti di zaman modern ini. Orang-orang yang meminjam umumnya adalah mereka yang betul-betul miskin. Mereka meminjam hanya untuk kebutuhan hidup sehari-hari seperti makan. Oleh sebab itu tidak berlebihan bila selalu ada hutang-hutang yang sedemikian sulit untuk dibayar kembali.
Seruan Yesus juga berarti, berilah bantuanmu dengan kerelaan besar. Dari semangat inilah kita menemukan pada bangsa-bangsa barat Kristen, baik di masa lalu, dan juga di masa kini juga, semangat voluntarisme. Semangat untuk menjadi relawan, yang tidak hanya memberi uang, tetapi juga waktu, dan keahlian untuk pelayanan kemanusiaan. Jangan takut dan ragu untuk memberi, karena kita dapat menjadi berkat.
Mungkin seruan inilah yang paling mengganggu . . .
kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu . . . .  Apa yang didoakan? Insting dan naluri manusiawi kita adalah membalas atau kalaupun tak bisa membalas adalah mendendam pada orang-orang yang berbuat jahat terhadap kita secara pribadi. Oleh karena itu hukum yang adil, mengatur pembalasan. Tapi yang diserukan Yesus bukanlah tentang hukum.  Yang diserukan Yesus tidak melanggar hukum. Tak ada hukum yang melarang orang untuk mengasihi dan berdoa. Seruan bagi para pengikut Yesus melampaui hukum, di atas hukum.
Berdoa adalah jalan dan sumber kekuatan kita untuk melakukan yang lebih dari yang kita mampu melakukannya sendiri. Naluri manusiawi, bahkan hukum yang ada, mengizinkan, bahkan mengatur pembalasan yang merupakan hak kita, bahkan hak azasi kita, untuk bisa membalas kejahatan yang kita alami. Hanya melalui doa, dan dimulai dengan doa sajalah, seperti yang dicontohkan oleh Yesus sendiri, dalam Doa Bapa Kami, dalam doa di atas Kayu Salib, mengasihi dan mengampuni musuh dapat kita jalani. Apakah orang dapat mengerti bila kita tak dapat mengasihi dan mengampuni musuh? Tentu dapat. Apakah Allah dapat mengerti bila kita tak mampu mengasihi dan mengampuni musuh? Ia yang mengenal kita, tentu dapat mengerti. Meski orang lain, bahkan Allah sendiri dapat mengerti, namun menjawab seruan Yesus, kita perlu melakukan lebih daripada yang dapat dimengerti orang, bahkan Allah. Kita perlu untuk melakukan lebih jauh daripada yang biasa, karena kita adalah anak-anak Allah.
Mengapa?
haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna . . . Kita adalah anak-anak Allah, ketika kita sanggup menjalani hidup sebagai anak-anak Allah. Bukankah kita telah menjadi anak-anak Allah ketika kita percaya dan dibaptis? Betul. Namun pengakuan saja tidak cukup. Untuk sungguh-sungguh sebagai anak-anak Allah, bukan sekadar mengaku, adalah dengan menjalani hidup sebagaimana yang diperlihatkan oleh Yesus sendiri, Anak Sulung sang Bapa.
Bukan hanya relasi dengan Allah yang kita percaya yang membuat kita menjadi anak-anak Allah, melainkan menjadikan sifat dan perilaku Allah yang penuh cinta itulah yang menjadikan kita anak-anak Allah.
dengan demikian kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar. . . . Mengasihi tanpa batas. Melampaui batas-batas kemanusiaan dan hukum yang berlaku. Allah yang memberi matahari dan hujan bagi semua, telah memberi contoh yang sangat jelas tentang pemberian tanpa batas, tanpa syarat, dan tanpa ketentuan apapun.
Yesus tidak mengajarkan tentang mempertahankan atau membela diri. Hal ini naluriah, alamiah, dan telah diatur dalam hukum dan keadilan yang berlaku. Ia tidak ingin kita menjadi orang yang lemah dan pasif, nrimo, pasrah. Menjadi pengikut Kristus adalah tindakan aktif, selalu penuh kesadaran akan hal-hal yang kita pikirkan dan lakukan. Semua pikiran dan tindakan kita, seperti yang dilakukan Yesus, haruslah bermakna. Pertanyaan dan tantangan terberat dari seruan Yesus dalam bagian terakhir Kotbah di Bukit ini adalah… ketika orang melakukan yang jahat padaku, bagaimanakah caranya saya membalas hanya dengan kebaikan? Hanya dengan cara inilah, kita mendekati kesempurnaan. Allah yang sempurna, ingin kita menjadi sempurna.


 (khotbah Pdt. Yusak Soleiman, tgl. 19 Pebruari 2017, oleh ys)

No comments:

Followers

Terima Kasih Atas Kunjungan Anda


Kami Kerjalayan Kesehatan Anda

Kami Kerjalayan Kesehatan Anda