Melepas keinginan membalas
Imamat
19:1-2; Mazmur
119:33-40; 1 Korintus 3:10-11, 16-23;
Matius
5:38-48
Ada masanya ketika ajaran
Yesus ini betul-betul dihayati. Seruan Yesus ini dipraktikkan secara apa
adanya, tanpa tafsiran dan penjelasan yang berbelit, tak ada berbagai dalih
untuk memperhalusnya. Jemaat pada abad pertama hingga ketiga
mempraktikkan hal ini. Salah satu buku pelajaran agama Kristen tertua dari abad
pertama Didache, memperlihatkan
betapa para pengikut Kristus menerima kata-kata Yesus ini apa adanya.
Ternyata bukan hanya
pada masa lampau yang jauh, pada abad lalu, ada seorang pendeta berkulit hitam,
pejuang hak azasi manusia, juga mempraktikan ajaran ini apa adanya. Martin Luther King Jr. (1929-1968),
menerapkan prinsip tanpa-kekerasan di tengah berbagai kekerasan yang dijalani
para ‘pejuang’ hak azasi di Amerika Serikat. Pendeta King Jr., ini terinspirasi
bukan saja oleh Kotbah Yesus di Bukit ini, melainkan juga dari seorang Hindu
yang mengagumi Yesus dan ajaran Kotbah di Bukit, Mahatma Mohandas Gandhi (1869-1948).
Kita mengetahui kisah
akhir hidup Yesus, Gandhi, dan King Jr., yang tewas di tengah perjuangan
tanpa-kekerasan ketika menghadapi-melawan kekuasaan dan kekerasan yang menekan.
Dunia berduka, namun sekaligus semakin banyak orang terinspirasi dan gerakan
perlawanan ‘tanpa-kekerasan’ ini menjadi gerakan yang tak pernah berhenti di
tengah gelombang kekuasaan yang jahat, dan kekerasan yang menghantui kehidupan
(termasuk praktik kekerasan yang dilakukan orang beragama).
Dalam pengajaran-Nya
Yesus biasa memulai dengan norma yang umum. Bagi-Nya norma yang umum adalah
titik-tolak yang wajar diikuti semua orang. Tanpa norma yang ada, orang tak
dapat membedakan mana yang baik dari yang buruk, mana yang benar dari yang
salah.
Norma umum, atau hukum
yang berlaku seperti mata ganti mata,
gigi ganti gigi, adalah hukum yang adil. Hukum yang membatasi dan mengatur
pembalasan. Pada masyarakat kuno yang tidak menganut hukum pembalasan yang
adil, berlakulah pembalasan yang membabi buta. Tanpa hukum pembalasan yang
adil, seorang yang terluka tangannya, dapat membalas membabi buta dengan
membunuh pelaku yang melukainya. Atau seorang yang terpotong tangannya, dapat
menggerakkan keluarga dan teman-temannya untuk membantai keluarga orang yang memotong
tangannya.
Sekalipun hukum
pembalasan ini adil, Yesus menyerukan agar orang jangan melawan dan membalas
kejahatan dengan kejahatan yang sama. Bahkan lebih jauh lagi… siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah
juga kepadanya pipi kirimu. Menampar bukan memukul di muka. Menampar
bukanlah untuk melukai, melainkan sebuah penghinaan. Menampar pipi kanan dengan
sisi belakang tangan adalah penghinaan ganda. Jelaslah menampar dan memberi
pipi ini bukanlah hal tentang menerima begitu saja atau pasrah terhadap
perlakuan jahat yang kita alami. Sekali lagi, terhadap mereka yang melakukan
kejahatan, dan mereka yang menghina, Yesus berseru agar kita tidak membalas
dengan kejahatan dan kekerasan. Kejahatan
dan penghinaan kita jawab dengan tidak melanjutkan dengan yang jahat, dan
tak-merasa terhina. Sulit? Masih ada lagi.
Kepada orang yang hendak
mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu.
Bagian ini sangat dramatis bagi para pengikut yang miskin. Baju dan jubah
adalah segala-galanya bagi mereka yang hidup di negeri bermusim dingin, apalagi
sebagai orang miskin. Orang miskin masih mungkin untuk kehilangan bajunya, salah satunya
karena dituntut oleh orang. Namun agar orang masih bisa melewati malam yang
dingin, jubah masih harus dimiliki oleh si miskin. Bahkan dalam situasi yang
paling aneh sekalipun, ketika seorang miskin dituntut orang untuk menyerahkan
baju dan jubahnya, maka setiap malam orang yang mengambil jubah si miskin harus
memberikan kembali jubah itu, agar si miskin – yang sudah telanjang – masih
dapat tidur dengan berbalut jubahnya itu.
Yesus mengatakan
pada para pengikutnya, bahkan bagi mereka yang paling miskin dan susah
sekalipun, untuk tidak melawan, tidak membalas, ketika mengalami perlakuan yang
paling tidak adil sekalipun. Berikan saja semua, bahkan
lebih daripada yang diminta dengan paksa. Penghinaan
dan penindasan dapat kita alami bukan sebagai penghinaan dan penindasan.
… berjalanlah bersama dia sejauh dua mil. . . , Palestina pada abad
pertama dikuasai Roma. Menurut hukum yang berlaku, tentara Romawi dapat
memerintahkan siapa saja untuk menjadi keledai beban. Salah satu contoh yang
ada dalam Injil Matius, adalah Simon Kirene yang diperintahkan tentara untuk
memikul salib Yesus. Menurut hukum yang berlaku, tugas sebagai keledai beban
ini maksimal satu mil. Orang Yahudi tahu bahwa setelah berjalan seribu langkah,
satu mil, mereka berhak berhenti, dan meninggalkan begitu saja bebannya, di
mana saja: di kubangan lumpur atau tempat-tempat lainnya untuk membalas
perlakuan Roma yang memperbudak mereka.
Terhadap penindasan
dan perlakuan sebagai budak seperti ini, Yesus menyerukan kepada para
pengikut-Nya, agar mereka berlaku sebagai hamba yang rendah hati. Ketika orang
merendahkan kita, dan memperlakukan kita sebagai budak, maka berlakulah sebagai
orang yang bersedia melayani dengan baik. Perendahan
dan pemaksaan kita jawab dengan kerelaan memberi diri, berbuat yang terbaik,
dan menjadi berkat.
Berilah kepada orang yang
meminta kepadamu dan janganlah menolak orang yang meminjam padamu.
Dalam masyarakat Yahudi, setiap tahun ketujuh semua hutang-hutang dianggap
lunas. Kali ini seruan Yesus tertuju pada mereka yang mampu memberi pinjaman,
dan yang mungkin terganggu ketika orang datang pada tahun keenam untuk
meminjam.
Seruan ini mengingatkan
para pengikut-Nya supaya selalu memberi dengan murah-hati kepada orang-orang
yang membutuhkan. Dalam masyarakat Palestina saat itu, orang meminjam bukan seperti orang
meminjam di bank untuk modal usaha, seperti di zaman modern ini. Orang-orang yang
meminjam umumnya adalah mereka yang betul-betul miskin. Mereka meminjam hanya
untuk kebutuhan hidup sehari-hari seperti makan. Oleh sebab itu tidak
berlebihan bila selalu ada hutang-hutang yang sedemikian sulit untuk dibayar
kembali.
Seruan Yesus juga berarti,
berilah bantuanmu dengan kerelaan besar. Dari semangat inilah kita menemukan
pada bangsa-bangsa barat Kristen, baik di masa lalu, dan juga di masa kini
juga, semangat voluntarisme. Semangat
untuk menjadi relawan, yang tidak hanya memberi uang, tetapi juga waktu, dan
keahlian untuk pelayanan kemanusiaan. Jangan
takut dan ragu untuk memberi, karena kita dapat menjadi berkat.
Mungkin seruan inilah yang
paling mengganggu . . .
… kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu .
. . . Apa yang didoakan? Insting dan naluri
manusiawi kita adalah membalas atau kalaupun tak bisa membalas adalah mendendam
pada orang-orang yang berbuat jahat terhadap kita secara pribadi. Oleh karena
itu hukum yang adil, mengatur pembalasan. Tapi yang diserukan Yesus bukanlah
tentang hukum. Yang diserukan Yesus
tidak melanggar hukum. Tak ada hukum yang melarang orang untuk mengasihi dan berdoa. Seruan bagi para pengikut Yesus melampaui
hukum, di atas hukum.
Berdoa adalah jalan dan sumber kekuatan kita
untuk melakukan yang lebih dari yang kita mampu melakukannya sendiri. Naluri
manusiawi, bahkan hukum yang ada, mengizinkan, bahkan mengatur pembalasan yang
merupakan hak kita, bahkan hak azasi kita, untuk bisa membalas kejahatan yang
kita alami. Hanya melalui doa, dan dimulai dengan doa sajalah, seperti yang
dicontohkan oleh Yesus sendiri, dalam Doa Bapa Kami, dalam doa di atas Kayu
Salib, mengasihi dan mengampuni musuh dapat kita jalani. Apakah orang dapat mengerti bila kita tak dapat
mengasihi dan mengampuni musuh? Tentu dapat. Apakah Allah dapat mengerti bila
kita tak mampu mengasihi dan mengampuni musuh? Ia yang mengenal kita, tentu
dapat mengerti. Meski orang lain, bahkan Allah sendiri dapat mengerti, namun
menjawab seruan Yesus, kita perlu melakukan lebih daripada yang dapat
dimengerti orang, bahkan Allah. Kita perlu untuk melakukan lebih jauh daripada
yang biasa, karena kita adalah anak-anak Allah.
Mengapa?
… haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu
yang di sorga adalah sempurna . . . Kita adalah anak-anak Allah, ketika
kita sanggup menjalani hidup sebagai anak-anak Allah. Bukankah kita telah
menjadi anak-anak Allah ketika kita percaya dan dibaptis? Betul. Namun
pengakuan saja tidak cukup. Untuk sungguh-sungguh sebagai anak-anak Allah,
bukan sekadar mengaku, adalah dengan menjalani hidup sebagaimana yang
diperlihatkan oleh Yesus sendiri, Anak Sulung sang Bapa.
Bukan hanya relasi
dengan Allah yang kita percaya yang membuat kita menjadi anak-anak Allah,
melainkan menjadikan sifat dan perilaku Allah yang penuh cinta itulah yang
menjadikan kita anak-anak Allah.
… dengan demikian kamu menjadi anak-anak
Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang
yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.
. . . Mengasihi
tanpa batas. Melampaui batas-batas kemanusiaan dan hukum yang berlaku. Allah
yang memberi matahari dan hujan bagi semua, telah memberi contoh yang sangat
jelas tentang pemberian tanpa batas, tanpa syarat, dan tanpa ketentuan apapun.
Yesus tidak
mengajarkan tentang mempertahankan atau membela diri. Hal ini naluriah,
alamiah, dan telah diatur dalam hukum dan keadilan yang berlaku. Ia tidak ingin
kita menjadi orang yang lemah dan pasif, nrimo,
pasrah. Menjadi pengikut Kristus adalah tindakan aktif, selalu penuh kesadaran
akan hal-hal yang kita pikirkan dan lakukan. Semua pikiran dan tindakan kita,
seperti yang dilakukan Yesus, haruslah bermakna. Pertanyaan dan tantangan
terberat dari seruan Yesus dalam bagian terakhir Kotbah di Bukit ini adalah… ketika
orang melakukan yang jahat padaku, bagaimanakah caranya saya membalas hanya
dengan kebaikan? Hanya dengan cara inilah, kita mendekati kesempurnaan. Allah
yang sempurna, ingin kita menjadi sempurna.
(khotbah
Pdt. Yusak Soleiman, tgl. 19 Pebruari 2017, oleh ys)

No comments:
Post a Comment