KEMULIAAN
TUHAN MEMULIHKAN KEHIDUPAN
Pernahkah Anda
merindukan untuk berada di puncak gunung? Berada di puncak gunung bagi sebagian
orang merupakan impian, apalagi bisa mencapai puncak gunung tertinggi di dunia.
Ada kepuasan dan kebanggaan tersendiri! Jika Anda ingin naik ke puncak gunung,
ada dua cara yang dapat ditempuh. Pertama, cara yang dilakukan oleh para
pencinta alam. Mereka memersiapkan fisik dan perbekalan. Cara kedua, naik
helikopter mengudara di angkasa, lalu turun langsung di puncak gunung. Satu
cara tidak lebih baik atau lebih buruk dari cara yang lainnya. Namun, memiliki
resiko, makna, dan kegairahan masing-masing.
Apabila Anda memilih
cara pertama, Anda tidak membutuhkan biaya yang mahal. Cukup siapkan fisik, tas
ransel berisi perbekalan dan perlengkapan standar mendaki gunung. Namun, Anda
banyak membutuhkan waktu dan tenaga, juga kesabaran dan ketabahan. Tidak
gampang mendaki gunung dengan cara seperti ini. Jangan coba-coba kalau belum
pernah berlatih dan tanpa didampingi oleh orang yang telah berpengalaman.
Sebab, Anda harus mendaki jalan terjal, rimba dan semak belukar, menanjak,
menuruni tanah yang licin, tergores ranting pohon, menyeberangi aliran deras
air sungai. Mungkin saja Anda bertemu dengan binatang buas, dan lain sebagainya.
Meski demikian, Anda dapat menikmati keindahan alam secara dekat. Anda dapat
menyentuhnya. Anda bisa menemukan bunga edelweis yang melegenda, atau merasakan
segarnya air sungai. Lalu, ketika Anda berhasil mencapai puncak gunung itu –
sudah dapat dipastikan – bukan main puasnya! Berjam- jam atau bahkan
berhari-hari perjalanan yang Anda lakukan dengan segala bahaya dan resiko
terbayar sudah ketika Anda berada di puncak, menikmati terbitnya mentari dengan
pemandangan yang menakjubkan! Kebanggan akan meluap-luap membakar semangat
untuk merayakan keberhasilan atas perjuangan tak kenal lelah itu.
Kebalikan cara pertama,
naik helikopter tentu lebih mudah. Anda hanya perlu sejumlah uang untuk menyewa
jasa helikopter. Duduk manis di samping pilot, Anda juga bisa menikmati
keindahan alam dari ketinggian jelajah helikopter. Cara ini cepat dan tidak
butuh banyak tenaga. Dalam hitungan menit, Anda sudah bisa sampai di puncak
gunung. Cara ini dapat menyingkat waktu dan kelelahan fisik. Namun, tentu saja
Anda tidak bisa merasakan kepuasan seperti yang dirasakan oleh para pendaki
konvensional.
Gunung atau tepatnya
puncaknya, telah lama menjadi simbol sebuah pencapaian, prestasi, kehormatan
dan kemuliaan. “Berada di puncak gunung” mengisyaratkan sebuah kondisi pencapaian
kesuksesan dan kedigdayaan. Ada kelompok orang yang ingin mencapainya dengan
cara mudah dan singkat. Namun, banyak yang menempuh dengan berpeluh keringat
dan air mata.
Yesus pernah membawa
tiga murid-Nya ke atas gunung “Enam hari
kemudian Yesus membawa Petrus, Yakobus dan Yohanes….ke sebuah gunung yang
tinggi. Di situ mereka sendirian saja.” (Matius 17:1). Enam hari sebelumnya
Petrus telah membuat pernyataan, “Engkau
adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!” (Mat.16:16). Yesus membenarkan
pernyataan Petrus, “Berbahagialah engkau
Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan
Bapa-Ku yang di sorga.” (Mat.16:17). Dialog Yesus dengan murid-murid-Nya
diakhiri dengan pemberitahuan pertama tentang penderitaan Yesus dan syarat-syarat
untuk mengikut-Nya.
Yesus hanya membawa
serta tiga orang murid-Nya, Petrus, Yakobus dan Yohanes ke sebuah gunung yang
tinggi itu. Mengapa hanya tiga orang saja yang diajak Yesus? Bisa jadi, mereka
bertigalah “kelompok inti” dari kedua belas murid Yesus. Ketiga murid inilah
juga yang diajak Yesus dalam pergumulan di taman Getsemani. Namun, tidak
menutup kemungkinan bahwa Yesus menyadari peranan-Nya sebagai Musa “kedua”.
Yesus ingat kepada pristiwa Musa yang membawa tiga orang (Harun, Nadab dan
Abihu) ke atas gunung Sinai (Kel.24:1). Dalam peristiwa itu Allah menyatakan
diri kepada Musa di atas gunung itu. Gunung itu diselimuti awan dan kemuliaan
TUHAN diam di atas gunung itu selama enam hari lamanya (Kel. 24:16).
Bukanlah perkara kebetulan kalau peristiwa
yang sebentar lagi terjadi pada diri Yesus di atas gunung dengan begitu banyak
kemiripan dengan apa yang terjadi pada Musa di gunugn Sinai. Peristiwanya
sama-sama di atas gunung, Musa membawa tiga orang, demikian juga Yesus. Musa
tinggal dalam kedasyatan kemuliaan TUHAN selama enam hari barulah setelah itu
kemuliaan TUHAN tampak sebagai api yang menghanguskan di puncak gunung itu yang
terlihat oleh orang Israel. Bukankah demikian juga dengan Yesus: setelah enam
hari berselang dari pengakuan Petrus dan peringatan penderitaan serta syarat
mengikut Sang Mesias, di situlah juga Yesus menyatakan kemuliaan-Nya.
Perjumpaan dengan sabda TUHAN membuat wajah Musa bercahaya. Kali ini Yesus
tampil sebagai Musa yang baru, yang membawakan sabda TUHAN di dalam diri-Nya,
di dalam kehidupan-Nya.
Di atas gunung itulah
terjadi peristiwa dashyat: Yesus berubah rupa di depan mata ketiga
murid-Nya. Wajah-Nya bercahaya seperti matahari, dan pakaiannya menjadi putih
bagaikan terang cahaya. Lukas mencatat bahwa pakaian-Nya berkilau-kilauan
(seperti kilat) dan Markus menulis, bahwa pakaian-Nya menjadi berkilat-kilat
(seperti logam kena sinar matahari). Semuanya mempunyai arti yang sama. Pada
saat itu, tampil pula dua figur yang sangat dimuliakan dalam Perjanjian Lama:
Musa (sebagai orang yang pernah berhadapan langsung dengan Allah dan menerima
Hukum Allah) dan yang lain Elia (sosok nabi besar yang mengarahkan Israel untuk
kembali kepada TUHAN). Keduanya berbicara dengan Yesus.
Bagi para murid tak
pelak lagi, ini merupakan pengalaman menakjubkan, kemuliaan tiada tara mereka
saksikan sendiri. “Tidaklah salah aku menyatakan bahwa Sang Guru adalah
Mesias!” begitu mungkin ungkapan hati Petrus, “Maka sekarang, aku tidak boleh
menyia-nyiakan momen langka ini. Kemuliaan ini tidak boleh lekas pergi, aku
harus membuat tiga tenda untuk mereka!” Alih-alih usulan Petrus direspon,
terdengar suara dari langit, “Inilah Anak yang Kukasihi, dengarkanlah
Dia!” Pernyataan ini mengingatkan orang
pada peristiwa Yesus dibaptis oleh Yohanes di sungai Yordan (Mat.3:17).
Pernyataan ini senada dalam dua ayat di
Perjanjian Lama Mazmur 2:7 di mana Allah berkata kepada Raja Mesias: “Anak-Ku engkau” dan Yesaya 42:1, yang di
dalamnya, Allah berbicara tentang Hamba TUHAN yang menderita. Jadi pernyataan
suara Langit itu mau mengatakan bahwa Yesus adalah Anak Allah. Raja Mesias dan
Hamba yang menderita. Suara itu meneguhkan Yesus bahwa benarlah Allah
menghendaki penderitaan dan kematian-Nya, dan suara itu pula mengajarkan kepada
para murid agar mendengarkan Yesus, baik ketika Yesus dalam kemuliaan-Nya
sebagai Mesias dan terlebih ketika Ia berbicara dan menjalani rangkai
kesengsaraan-Nya di Yerusalem.
Peristiwa transfigurasi berubahnya wajah Yesus dalam kemuliaan jelas tidak
berdiri sendiri atau sekedar pamer kemuliaan. Ada serangkaian makna yang dapat
kita simak. Kemuliaan Yesus sebagai Mesias memberi gambaran dan kekuatan bagi
para murid. Bukankah setelah pengakuan Petrus bahwa Yesus adalah Mesias, Ia
langsung memberi tahu bahwa diri-Nya harus menjalani serangkaian kisah
sengsara, viadolorosa itu? Dan untuk
mengalami kemuliaan serupa hanya bisa dicapai dengan kesetiaan dan ketabahan
dalam mengikut Yesus. Yesus memperlihatkan “Inilah tubuh kemuliaan itu, kelak
akan kalian saksikan sepenuhnya ketika Aku telah menjalani serangkaian kisah
sengsara. Itulah tubuh kebangkitan!” Setidaknya, dalam peristiwa transfigurasi para murid “mencicipi”
tubuh kemuliaan Yesus itu.
Viadolorosa! Itulah yang ditempuh
Yesus dalam menggapai kemuliaan yang sesungguhnya. Ia taat sampai mati, bahkan
mati di kayu salib dan Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan nama di
atas segala nama (baca Filipi 2:5-11). Apa yang dilakukan-Nya bukan untuk
diri-Nya sendiri. Kemuliaan-Nya berdampak bagi kehidupan penyelamatan umat
manusia dari cengkeraman belenggu dosa. Kemuliaan-Nya memulihkan kehidupan.
Kita dipanggil dalam arus ini. Hidup bukan hanya untuk memuliakan diri sendiri,
melainkan bersama-sama membangun peradaban yang memuliakan semua orang bahkan
seluruh ciptaan. Jalan itu tidak mudah, seperti jalan seorang pendaki gunung.
Namun, percayalah TUHAN akan memberi kekuatan serta memperlihatkan
kemuliaan-Nya.
(
khotbah Pdt. Nanang, tgl. 26 Pebruari 2017, oleh N)

No comments:
Post a Comment