PERJUMPAAN DENGAN TUHAN DAN IDENTITAS
Lukas 8:26-39
Allah yang diberitakan Alkitab sangat berbeda daripada dewa-dewa yang disembah oleh bangsa-bangsa sekitar Israel. Orang-orang Kanaan melihat dewa-dewa mereka itu. Sama seperti dewa-dewa lainnya, para dewa orang Kanaan itu punya sifat yang paradoksal yaitu bahwa mereka ‘kalau kita butuh maka kita harus membujuk mereka dengan segala macam cara agar mereka mau hadir tetapi bila sudah hadir maka kita bisa memerintah mereka semau kita’. Jadi di satu sisi nampaknya mereka punya kuasa tetapi di sisi yang lain kerja mereka ‘atas pesanan manusia’. Para penyembahnya percaya bahwa dewa2 itu menentukan nasib mereka dan dingin tetapi di sini lain ‘dikit-dikit marah ; dikit-dikit marah (marah cuma sedikit?) kalau para penyembahnya lupa melakukan kewajiban terhadap para dewa ini. Tuhan yang diberitakan nabi adalah Allah yang terbuka, punya hati, positif, pro-aktif, dan berinisiatif. Allah yang sungguh-sungguh setia kepada perjanjian yang sudah diikat-Nya dengan umat Israel. Ia tetap mengasihi umat-Nya kendati pun umat Israel mengulang-ulang lagi kesalahan yang pernah mereka buat di masa lalu dan membuat mereka mesti dibuang ke Babil – menyembah berhala dan, bahkan menyebut ibadah kepada Tuhan sebagai ‘najis’ (65:2-5). Kondisi itu sudah cukup bagi Allah untuk ‘mengadakan pembalasan’ (ay.6). Tuhan berjuang mengalahkan diri-Nya sendiri, dan menang. Dia berkata, Aku memberikan ‘menyatakan diri-Ku’ kepada bangsa-bangsa yang tidak pernah peduli kepada-Ku, masakan Aku tidak lebih peduli kepada umat-Ku – betapa pun brengseknya mereka. Aku mengasihi umat-Ku bukan “karena mereka begini begitu” – bukan karena mereka orang baik atau orang jahat, bukan karena mereka saleh atau penyembah berhala, bukan karena persembahannya banyak atau sedikit, bukan karena ia punya peran besar atau tidak punya peran di gereja – tetapi karena “Aku tidak bisa membatalkan perjanjian anugerah yang menjamin kesejahteraan mereka”. Sama orang yang tidak mengenal aku aja aku baik, apalagi sama umat-Ku. Inilah JATIDIRI Allah yang diberitakan oleh Alkitab kepada kita. Kalau kita pakai sebutan yang dipakai oleh penulis surat I Yoh tepat sekali kalau dia menyebut ALLAH ADALAH KASIH. God is love. Dan jangan dibalik, love is God. Bukankan ini realitas yang hebat dan dahsyat yang melegakan kita semua.
Rasanya pemahaman semacam inilah yang ada di pikiran rasul Paulus ketika ia menulis bagian yang menjadi bacaan kita hari ini. Ketaatan kepada taurat – dalam pengertian rincian aturan-aturan agama Yahudi secara hurufiah – bukan lagi menjadi prasyarat untuk menjadi anak-anak Allah. Ibarat naik mobil, memang ada GPS yang bisa memandu kita ke arah yang kita tuju, tetapi ketika si sopir yang mahir dan handal itu ada, dan ia yang pegang setir maka GPS - betapa pun berharganya - tidak kita perlukan lagi. Aturan taurat yg tadinya dimaksudkan jadi penuntun malah membelenggu dan membuat orang selalu merasa berdosa bisa diabaikan, oleh karena apa? Karena iman kepada Kristus yang dimeteraikan oleh baptisan. Kristus yang mengungkapkan secara gamblang, dan sempurna JATIDIRI ALLAH yang adalah KASIH itu. Dia bukan hanya berhasil melaksanakan jiwa taurat secara sempurna tetapi mengungkap siapa Allah yang sejati. Ia mengungkap semua sikap positif, kreatif, pro-aktif, dan inisiatif Allah secara jelas. Dia menyatakan Allah yang membuka tangan lebar-lebar bagi orang berdosa untuk mendapatkan identitas atau jatidirinya yang baru.
Perhatikan kisah Yesus menemui atau ditemui oleh orang yang dirasuk roh jahat di Gerasa. Apa ‘roh jahat’-nya? Legion – banyak, banyak banget. Satu legiun tentera Roma berjumlah sekita 6-7 ribuan tentara. Dia punya banyak keinginan yang bahkan mau dicapainya dengan cara-cara yang tidak terpuji dan tidak manusiawi. Bukan hanya menakutkan dan mengancam orang lain tetapi merusak kehidupannya sendiri (dia pukuli dirinya sendiri dengan batu, dia tinggal di kuburan, dia telanjang tanpa rasa malu). Yesus seperti sengaja datang ke Gerasa untuk orang ini saja. Dia tidak peduli sama penduduk lainnya, dia tidak peduli sama para juragan babi, dia tidak peduli pada sejumlah besar babi yang terjun ke danau, dan mempersetankan ‘roh jahat’ itu. ORANG INI ORANG YANG BERUNTUNG – BE THE LUCKY ONE CAUSE OF BEING THE SPECIAL ONE FOR JESUS. Dia mendapatkan identitasnya yang baru yang manusiawi – duduk tenang dan berinteraksi dengan wajar dan manusiawi, berpakaian (tahu malu – artinya tahu mana yang pantas mana yang tidak pantas), waras (sophroneo – be in one’s right mind ; think sensibly, be sensible) – Ia bisa diterima. Itu juga yang dianjurkan oleh Paulus pada bagian akhir dari bacaan rasuli tadi.
Berdasar pada jati diri Tuhan – yang nyata di dalam Kristus – maka jadi diri para pengikut Kristus tidak diletakkan pada kekuatan atau kesalehan diri melainkan (1) SOLA GRATIA. KASIH KARUNIA TUHAN. Yang bukan basa-basi. Hidup kita karena belaskasihan atau kemurahan hati Tuhan. Hidup kita karena kesabaran Tuhan. (2) Iman kepada Kristus menjadikan seseorang menjadi IMITATIO CHRISTI, dan menjadi IMITATIO CHRISTI artinya menjadikan Hakikat Kristus yang adalah KASIH sebagai jatidiri yang terejawantah melalui kehidupan.
Lukas 8:26-39
Allah yang diberitakan Alkitab sangat berbeda daripada dewa-dewa yang disembah oleh bangsa-bangsa sekitar Israel. Orang-orang Kanaan melihat dewa-dewa mereka itu. Sama seperti dewa-dewa lainnya, para dewa orang Kanaan itu punya sifat yang paradoksal yaitu bahwa mereka ‘kalau kita butuh maka kita harus membujuk mereka dengan segala macam cara agar mereka mau hadir tetapi bila sudah hadir maka kita bisa memerintah mereka semau kita’. Jadi di satu sisi nampaknya mereka punya kuasa tetapi di sisi yang lain kerja mereka ‘atas pesanan manusia’. Para penyembahnya percaya bahwa dewa2 itu menentukan nasib mereka dan dingin tetapi di sini lain ‘dikit-dikit marah ; dikit-dikit marah (marah cuma sedikit?) kalau para penyembahnya lupa melakukan kewajiban terhadap para dewa ini. Tuhan yang diberitakan nabi adalah Allah yang terbuka, punya hati, positif, pro-aktif, dan berinisiatif. Allah yang sungguh-sungguh setia kepada perjanjian yang sudah diikat-Nya dengan umat Israel. Ia tetap mengasihi umat-Nya kendati pun umat Israel mengulang-ulang lagi kesalahan yang pernah mereka buat di masa lalu dan membuat mereka mesti dibuang ke Babil – menyembah berhala dan, bahkan menyebut ibadah kepada Tuhan sebagai ‘najis’ (65:2-5). Kondisi itu sudah cukup bagi Allah untuk ‘mengadakan pembalasan’ (ay.6). Tuhan berjuang mengalahkan diri-Nya sendiri, dan menang. Dia berkata, Aku memberikan ‘menyatakan diri-Ku’ kepada bangsa-bangsa yang tidak pernah peduli kepada-Ku, masakan Aku tidak lebih peduli kepada umat-Ku – betapa pun brengseknya mereka. Aku mengasihi umat-Ku bukan “karena mereka begini begitu” – bukan karena mereka orang baik atau orang jahat, bukan karena mereka saleh atau penyembah berhala, bukan karena persembahannya banyak atau sedikit, bukan karena ia punya peran besar atau tidak punya peran di gereja – tetapi karena “Aku tidak bisa membatalkan perjanjian anugerah yang menjamin kesejahteraan mereka”. Sama orang yang tidak mengenal aku aja aku baik, apalagi sama umat-Ku. Inilah JATIDIRI Allah yang diberitakan oleh Alkitab kepada kita. Kalau kita pakai sebutan yang dipakai oleh penulis surat I Yoh tepat sekali kalau dia menyebut ALLAH ADALAH KASIH. God is love. Dan jangan dibalik, love is God. Bukankan ini realitas yang hebat dan dahsyat yang melegakan kita semua.
Rasanya pemahaman semacam inilah yang ada di pikiran rasul Paulus ketika ia menulis bagian yang menjadi bacaan kita hari ini. Ketaatan kepada taurat – dalam pengertian rincian aturan-aturan agama Yahudi secara hurufiah – bukan lagi menjadi prasyarat untuk menjadi anak-anak Allah. Ibarat naik mobil, memang ada GPS yang bisa memandu kita ke arah yang kita tuju, tetapi ketika si sopir yang mahir dan handal itu ada, dan ia yang pegang setir maka GPS - betapa pun berharganya - tidak kita perlukan lagi. Aturan taurat yg tadinya dimaksudkan jadi penuntun malah membelenggu dan membuat orang selalu merasa berdosa bisa diabaikan, oleh karena apa? Karena iman kepada Kristus yang dimeteraikan oleh baptisan. Kristus yang mengungkapkan secara gamblang, dan sempurna JATIDIRI ALLAH yang adalah KASIH itu. Dia bukan hanya berhasil melaksanakan jiwa taurat secara sempurna tetapi mengungkap siapa Allah yang sejati. Ia mengungkap semua sikap positif, kreatif, pro-aktif, dan inisiatif Allah secara jelas. Dia menyatakan Allah yang membuka tangan lebar-lebar bagi orang berdosa untuk mendapatkan identitas atau jatidirinya yang baru.
Perhatikan kisah Yesus menemui atau ditemui oleh orang yang dirasuk roh jahat di Gerasa. Apa ‘roh jahat’-nya? Legion – banyak, banyak banget. Satu legiun tentera Roma berjumlah sekita 6-7 ribuan tentara. Dia punya banyak keinginan yang bahkan mau dicapainya dengan cara-cara yang tidak terpuji dan tidak manusiawi. Bukan hanya menakutkan dan mengancam orang lain tetapi merusak kehidupannya sendiri (dia pukuli dirinya sendiri dengan batu, dia tinggal di kuburan, dia telanjang tanpa rasa malu). Yesus seperti sengaja datang ke Gerasa untuk orang ini saja. Dia tidak peduli sama penduduk lainnya, dia tidak peduli sama para juragan babi, dia tidak peduli pada sejumlah besar babi yang terjun ke danau, dan mempersetankan ‘roh jahat’ itu. ORANG INI ORANG YANG BERUNTUNG – BE THE LUCKY ONE CAUSE OF BEING THE SPECIAL ONE FOR JESUS. Dia mendapatkan identitasnya yang baru yang manusiawi – duduk tenang dan berinteraksi dengan wajar dan manusiawi, berpakaian (tahu malu – artinya tahu mana yang pantas mana yang tidak pantas), waras (sophroneo – be in one’s right mind ; think sensibly, be sensible) – Ia bisa diterima. Itu juga yang dianjurkan oleh Paulus pada bagian akhir dari bacaan rasuli tadi.
Berdasar pada jati diri Tuhan – yang nyata di dalam Kristus – maka jadi diri para pengikut Kristus tidak diletakkan pada kekuatan atau kesalehan diri melainkan (1) SOLA GRATIA. KASIH KARUNIA TUHAN. Yang bukan basa-basi. Hidup kita karena belaskasihan atau kemurahan hati Tuhan. Hidup kita karena kesabaran Tuhan. (2) Iman kepada Kristus menjadikan seseorang menjadi IMITATIO CHRISTI, dan menjadi IMITATIO CHRISTI artinya menjadikan Hakikat Kristus yang adalah KASIH sebagai jatidiri yang terejawantah melalui kehidupan.
(disarikan dari khotbah Pdt. Samuel Santoso tg. 20 Juni 2010 oleh ss)
No comments:
Post a Comment