Mengosongkan Diri, Taat Memikul
Salib
(Yes 50:4-9; Mzm 118:1-2,19-29;
Flp 2:5-11; Mrk 11:1-11, 15:1-15)
· Hari ini kita memasuki Minggu Pra Paskah VI. Dalam
MPP VI ada dua hal yang kita kenang: peristiwa Yesus masuk Yerusalem –
dielu-elukan rakyat banyak dan juga masa sengsara Yesus dalam menghadapi
penyangkalan, penangkapan, pengkhianatan, peradilan yang tidak adil,
penderitaan dan kematian.
· Lewat peristiwa masuknya Yesus ke Yerusalem ini ada
beberapa hal simbolik yang bisa jadi pelajaran bagi kita:
a. Orang banyak memotong ranting-ranting pohon dan berseru-seru sambil berjalan di
belakang Yesus. Tindakan seperti ini adalah tindakan yang biasa dilakukan pada
perayaan hari raya pondok daun. Pesan dari hari raya itu adalah pesan yang
melambangkan kemerdekaan, kemenangan, dan sukacita.
b.
Orang banyak yang sangat besar jumlahnya itu menghamparkan pakaian mereka di jalan. Tindakan pengalasan itu
sendiri menunjuk pada sebuah tradisi penghormatan seorang raja yang
harus diberi kain alas sebagai alas kaki sebelum menaiki takhta kerajaan.
c.
mereka pun berteriak “Hosana”. Kata
ibrani “hosana” ini mempunyai arti save
now (selamatkanlah sekarang). NIV menerjemah-kannya menjadi O Lord, save us (Ya Tuhan, selamatkanlah
kami).
Lewat tindakan
orang banyak itu, tersirat harapan mereka. Sebuah harapan yang sangat besar
dari mereka, orang-orang kebanyakan yang tertindas. Secara simbolik mereka juga
mengangkat Yesus sebagai raja melalui tindakan penghamparan pakaian di
jalan. Pengalasan ini menunjuk pada penghormatan kepada
Yesus sebagai raja pembebas mereka dari jajahan Romawi. Melalui
sorakannya mereka hendak menunjukkan sebuah dukungan yang kuat bahwa mereka
akan bersama Yesus memperjuangkan kemerdekaan dan kemenangan atas Kerajaan
Romawi. Yesus dielu-elukan seperti
layaknya seorang raja pemenang yang baru pulang dari peperangan menuju ke
takhtanya.
Sayangnya
beberapa hari kemudian, mereka semua berubah.
Dalam Markus 15:13 disebutkan
bahwa orang banyak itu berbalik menghujat Yesus, mereka yang semula dengan
riang berkata: “Hosana”; kini berteriak bengis: “Salibkan Dia!” Itulah dunia.
Mudah diombang-ambingkan kepentingan dan pementingan diri.
Namun
berbeda dengan pandangan dan pemahaman orang banyak itu, Yesus justru
menunjukkan sesuatu yang berbeda.
(1). Pertama, cara Yesus masuk ke Yerusalem
-
ada
kesepakatan di kalangan umat Yahudi: bila mereka hendak merayakan peristiwa
keluarnya Israel dari Mesir (Paskah Yahudi), mereka harus berjalan kaki
memasuki kota Yerusalem
-
Yesus
tidak mengikuti kesepakatan itu karena justru Ia lebih taat menuruti
kehendak Allah lewat nubuatan nabi Zakharia à Zak 9:9
Dengan memenuhi nubuatan nabi
Zakharia, Yesus sedang mengumumkan diri-Nya adalah Raja yang datang
untuk menyelamatkan umat-Nya.
Namun apa yang Yesus sedang jalani
itu, berbeda dengan pandangan orang banyak yang menyambutnya. Yesus masuk ke Yerusalem bukan untuk jadi
raja dunia yang akan menggulingkan penjajahan Romawi. Ia masuk ke Yerusalem untuk memenuhi kehendak
Bapa-Nya dengan penuh ketaatan:
menjalani jalan penderitaan dan kematian.
Ia tetap fokus pada misi-Nya, sekalipun ada banyak sorak-sorai yang
memuja-Nya sebagai raja politis.
Hal pertama yang kita pelajari hari
ini adalah untuk menjadi seorang pemenang, kita perlu menunjukkan ketaatan
kepada kehendak Tuhan.
(2). Kedua, Yesus menunggang keledai bukan menunggang kuda
Apa maksudnya? Apakah tidak sanggup untuk sewa kuda
karena lebih mahal biayanya? Tidak!
Dengan menunggangi keledai Yesus memproklamirkan dirinya sebagai Raja atau
Mesias yang berbeda dengan konsep atau pemikiran orang Yahudi pada umumnya.
Mereka mungkin mengharapkan Mesias itu menunggang kuda dan akan memimpin
perlawanan melawan Romawi seperti kaum Zelot.
Yesus ingin
menunjukkan bahwa Ia datang tidak dengan kekuatan senjata melainkan dengan
kasih. Ia datang untuk membawa misi
damai. Dengan menunggang keledai, Yesus menunjukkan bahwa Dia adalah Raja
Damai, bukan Raja yang datang dengan kuda sebagai tunggangan perang. Dia datang
dengan cinta, anugerah, kasih, belas kasihan dan pengorbanan-Nya.
Yesus memilih menunggang keledai,
karena keledai adalah kendaraan rakyat jelata, jadi simbol kaum yang lemah,
lambang perdamaian dan kasih sayang.
Jadi secara simbolis Yesus ingin menyatakan bahwa walaupun Ia seorang
Raja, Ia mau menjadi sama dengan rakyat biasa, Ia mau memperhatikan yang lemah
dan dengan penuh kesederhanaan, Ia menawarkan perdamaian dan kasih sayang.
Dia datang bukan dengan meninggikan diri, tapi dengan
merendahkan diri-Nya. Seperti
yang digambarkan dalam Filipi 2:5-11,
jalan penderitaan yang Ia tempuh adalah kala Ia mengosongkan diri, atau
berkenosis.
“Mengosongkan diri” (kenosis)
berarti tindakan perendahan diri yang serendah-rendahnya, yang membuat
seseorang nyaris menjadi bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa lagi. Wujud
pengosongan diri Yesus itu adalah meninggalkan kesetaraan dengan Allah dengan
mengambil rupa manusia, bahkan sebagai hamba – posisi yang paling rendah dalam
struktur sosial. Tentu perubahan ini membawa penderitaan tersendiri.
Ini merupakan suatu pembalikan paradigma
berpikir yang biasanya ada di antara masyarakat pada umumnya: ingin berkuasa
dan terkemuka, serta dihormati dan dilayani.
Ketika orang ingin makin meningkat status dan
kedudukannya di tengah masyarakat, bahkan kalau bisa mencapai level tertinggi (cursus honorum); Yesus justru
menempuh jalan yang berbeda: tidak mempertahankan kedudukan-Nya yang setara
Allah (status level 1), melainkan mengambil rupa seorang manusia (status level
2) dan menjadi seorang hamba serta mati di kayu salib (status level 3). Ini yang disebut dengan cursus pudorum.
Namun justru karena kerelaan-Nya merendahkan diri
demi kebaikan sesama itulah, Yesus keluar sebagai pemenang. Ia mengalahkan kuasa dosa dan dimuliakan oleh
Allah: diberi nama di atas segala nama, mendapat pengakuan dan semua lutut
bertelut menyembah-Nya.
Hal kedua yang kita pelajari adalah
kerelaan hati untuk merendahkan diri
membuat seseorang menjadi berkat.
1. Relevansi
● Bagaimana
dengan kita saat ini? Kita hidup di
tengah dunia yang egois dan egosentris serta egofilia (narsis). Dunia yang
mudah berbalik arah demi pemenuhan hawa nafsu pementingan diri.
Di
tengah kondisi seperti itu, kita dipanggil untuk hidup kudus, berbeda dari yang
lain pada umumnya. Bukan dengan menarik
diri dari dunia, tapi tetap ada di tengah dunia dan berkarya untuk kebaikan
sesama. Itulah semangat spirit kenosis
atau mengosongkan diri.
● Spiritualitas
kenosis atau pengosongan diri bisa terjadi bila ada ketaatan pada kehendak Allah, kerelaan
berkurban dan kerendahan hati
dalam diri seseorang untuk membatasi
diri dan melepaskan apa yang
menjadi haknya demi kepentingan orang lain à ada harga yang dibayar, ada kesusahan dan
penderitaan.
Bila
ini kita lakukan, tentu kehadiran kita di tengah dunia menjadi kehadiran yang
membawa berkat. Kita bertumbuh dan
bertambah besar, bukan untuk diri sendiri, tapi mendatangkan kebaikan yang bisa
dilihat, dialami dan dirasakan juga oleh sesama.
2.
Penutup
· Hari
ini kita memasuki Minggu Pra Paskah VI.
Saat ini kita diingatkan bahwa Yesus Sang Raja di atas segala raja itu
mau dengan penuh ketaatan dan kerendahan hati menjadi sama dengan manusia,
mengosongkan diri untuk taat memikul salib, yang penuh pengorbanan dan
penderitaan itu.
Bila
manusia pada umumnya punya kepentingan diri yang ingin dipenuhi secara maksimal
sehingga kerapkali sadar tidak sadar menjadi serigala bagi sesama, homo
homini lupus. Yang mencabik-cabik, menghancurkan dan memangsa sesamanya
demi kepentingan diri terpenuhi.
Tentu sebagai pengikut Kristus kita tidak
boleh menjadi serupa dengan dunia yang seperti itu. Andar Ismail menuliskan homo homini lupus itu
ada lawannya: homo homini angelus ~ manusia menjadi malaikat bagi sesamanya, yang tidak
punya keinginan atau hawa nafsu, gak punya kelemahan fisik. Sulit bukan?
· Jangan jadi serigala
bagi sesama, tapi juga tidak mungkin jadi malaikat bagi sesama. Lalu apa yang
bisa kita lakukan? Homo homini homo! Jadi manusia bagi sesama manusia. Yang peduli, bertenggang rasa, penuh kasih,
rela berkorban, bertanggung jawab, bermartabat luhur. Itulah manusia yang berspirit kenosis, pengosongan
diri.
Selamat berkenosis,
meneladan Tuhan Yesus.
(Kotbah Pdt. Danny Purnama, Minggu 29 Maret
2015)
No comments:
Post a Comment