Sunday, April 12, 2015

Ringkasan Khotbah - 29 Maret 2015

Mengosongkan Diri, Taat Memikul Salib
(Yes 50:4-9; Mzm 118:1-2,19-29;
Flp 2:5-11; Mrk 11:1-11, 15:1-15)

· Hari ini kita memasuki Minggu Pra Paskah VI. Dalam MPP VI ada dua hal yang kita kenang: peristiwa Yesus masuk Yerusalem – dielu-elukan rakyat banyak dan juga masa sengsara Yesus dalam menghadapi penyangkalan, penangkapan, pengkhianatan, peradilan yang tidak adil, penderitaan dan kematian. 

· Lewat peristiwa masuknya Yesus ke Yerusalem ini ada beberapa hal simbolik yang bisa jadi pelajaran bagi kita:

a.   Orang banyak memotong ranting-ranting pohon dan berseru-seru sambil berjalan di belakang Yesus. Tindakan seperti ini adalah tindakan yang biasa dilakukan pada perayaan hari raya pondok daun. Pesan dari hari raya itu adalah pesan yang melambangkan kemerdekaan, kemenangan, dan sukacita.
b. Orang banyak yang sangat besar jumlahnya itu menghamparkan pakaian mereka di jalan. Tindakan pengalasan itu sendiri menunjuk pada sebuah tradisi penghormatan seorang raja yang harus diberi kain alas sebagai alas kaki sebelum menaiki takhta kerajaan.
c. mereka pun berteriak “Hosana”. Kata ibrani “hosana” ini mempunyai arti save now (selamatkanlah sekarang). NIV menerjemah-kannya menjadi O Lord, save us (Ya Tuhan, selamatkanlah kami).
Ÿ
Lewat tindakan orang banyak itu, tersirat harapan mereka. Sebuah harapan yang sangat besar dari mereka, orang-orang kebanyakan yang tertindas. Secara simbolik mereka juga mengangkat Yesus sebagai raja melalui tindakan penghamparan pakaian di jalan. Pengalasan ini menunjuk pada penghormatan kepada Yesus sebagai raja pembebas mereka dari jajahan Romawi. Melalui sorakannya mereka hendak menunjukkan sebuah dukungan yang kuat bahwa mereka akan bersama Yesus memperjuangkan kemerdekaan dan kemenangan atas Kerajaan Romawi.  Yesus dielu-elukan seperti layaknya seorang raja pemenang yang baru pulang dari peperangan menuju ke takhtanya.

Sayangnya beberapa hari kemudian, mereka semua berubah.  Dalam Markus 15:13 disebutkan bahwa orang banyak itu berbalik menghujat Yesus, mereka yang semula dengan riang berkata: “Hosana”; kini berteriak bengis: “Salibkan Dia!”  Itulah dunia.  Mudah diombang-ambingkan kepentingan dan pementingan diri.

Namun berbeda dengan pandangan dan pemahaman orang banyak itu, Yesus justru menunjukkan sesuatu yang berbeda.
(1). Pertama, cara Yesus masuk ke Yerusalem
-          ada kesepakatan di kalangan umat Yahudi: bila mereka hendak merayakan peristiwa keluarnya Israel dari Mesir (Paskah Yahudi), mereka harus berjalan kaki memasuki kota Yerusalem
-          Yesus tidak mengikuti kesepakatan itu karena justru Ia lebih taat menuruti kehendak Allah lewat nubuatan nabi Zakharia à Zak 9:9
Ÿ Dengan memenuhi nubuatan nabi Zakharia, Yesus sedang mengumumkan diri-Nya adalah Raja yang datang untuk menyelamatkan umat-Nya.
Ÿ Namun apa yang Yesus sedang jalani itu, berbeda dengan pandangan orang banyak yang menyambutnya.  Yesus masuk ke Yerusalem bukan untuk jadi raja dunia yang akan menggulingkan penjajahan Romawi.  Ia masuk ke Yerusalem untuk memenuhi kehendak Bapa-Nya dengan penuh ketaatan: menjalani jalan penderitaan dan kematian.  Ia tetap fokus pada misi-Nya, sekalipun ada banyak sorak-sorai yang memuja-Nya sebagai raja politis.
Ÿ Hal pertama yang kita pelajari hari ini adalah untuk menjadi seorang pemenang, kita perlu menunjukkan ketaatan kepada kehendak Tuhan.

(2). Kedua, Yesus menunggang keledai bukan menunggang kuda
Ÿ Apa maksudnya? Apakah tidak sanggup untuk sewa kuda karena lebih mahal biayanya?  Tidak! Dengan menunggangi keledai Yesus memproklamirkan dirinya sebagai Raja atau Mesias yang berbeda dengan konsep atau pemikiran orang Yahudi pada umumnya. Mereka mungkin mengharapkan Mesias itu menunggang kuda dan akan memimpin perlawanan melawan Romawi seperti kaum Zelot.
Ÿ Yesus ingin menunjukkan bahwa Ia datang tidak dengan kekuatan senjata melainkan dengan kasih. Ia datang  untuk membawa misi damai. Dengan menunggang keledai, Yesus menunjukkan bahwa Dia adalah Raja Damai, bukan Raja yang datang dengan kuda sebagai tunggangan perang. Dia datang dengan cinta, anugerah, kasih, belas kasihan dan pengorbanan-Nya.
Ÿ Yesus memilih menunggang keledai, karena keledai adalah kendaraan rakyat jelata, jadi simbol kaum yang lemah, lambang perdamaian dan kasih sayang.  Jadi secara simbolis Yesus ingin menyatakan bahwa walaupun Ia seorang Raja, Ia mau menjadi sama dengan rakyat biasa, Ia mau memperhatikan yang lemah dan dengan penuh kesederhanaan, Ia menawarkan perdamaian dan kasih sayang.
Ÿ Dia datang bukan dengan meninggikan diri, tapi dengan merendahkan diri-Nya. Seperti yang digambarkan dalam Filipi 2:5-11, jalan penderitaan yang Ia tempuh adalah kala Ia mengosongkan diri, atau berkenosis.
Ÿ “Mengosongkan diri” (kenosis) berarti tindakan perendahan diri yang serendah-rendahnya, yang membuat seseorang nyaris menjadi bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa lagi. Wujud pengosongan diri Yesus itu adalah meninggalkan kesetaraan dengan Allah dengan mengambil rupa manusia, bahkan sebagai hamba – posisi yang paling rendah dalam struktur sosial. Tentu perubahan ini membawa penderitaan tersendiri.
Ÿ Ini merupakan suatu pembalikan paradigma berpikir yang biasanya ada di antara masyarakat pada umumnya: ingin berkuasa dan terkemuka, serta dihormati dan dilayani.
Ÿ Ketika orang ingin makin meningkat status dan kedudukannya di tengah masyarakat, bahkan kalau bisa mencapai level tertinggi (cursus honorum); Yesus justru menempuh jalan yang berbeda: tidak mempertahankan kedudukan-Nya yang setara Allah (status level 1), melainkan mengambil rupa seorang manusia (status level 2) dan menjadi seorang hamba serta mati di kayu salib (status level 3).  Ini yang disebut dengan cursus pudorum.
Ÿ Namun justru karena kerelaan-Nya merendahkan diri demi kebaikan sesama itulah, Yesus keluar sebagai pemenang.  Ia mengalahkan kuasa dosa dan dimuliakan oleh Allah: diberi nama di atas segala nama, mendapat pengakuan dan semua lutut bertelut menyembah-Nya.
Ÿ Hal kedua yang kita pelajari adalah kerelaan hati untuk merendahkan diri membuat seseorang menjadi berkat.

1.    Relevansi
●   Bagaimana dengan kita saat ini?  Kita hidup di tengah dunia yang egois dan egosentris serta egofilia (narsis). Dunia yang mudah berbalik arah demi pemenuhan hawa nafsu pementingan diri.
Ÿ   Di tengah kondisi seperti itu, kita dipanggil untuk hidup kudus, berbeda dari yang lain pada umumnya.  Bukan dengan menarik diri dari dunia, tapi tetap ada di tengah dunia dan berkarya untuk kebaikan sesama.  Itulah semangat spirit kenosis atau mengosongkan diri.
●   Spiritualitas kenosis atau pengosongan diri bisa terjadi bila ada ketaatan pada kehendak Allah, kerelaan berkurban dan kerendahan hati dalam diri seseorang untuk membatasi diri dan melepaskan apa yang menjadi haknya demi kepentingan orang lain à ada harga yang dibayar, ada kesusahan dan penderitaan.

Ÿ   Bila ini kita lakukan, tentu kehadiran kita di tengah dunia menjadi kehadiran yang membawa berkat.  Kita bertumbuh dan bertambah besar, bukan untuk diri sendiri, tapi mendatangkan kebaikan yang bisa dilihat, dialami dan dirasakan juga oleh sesama.

2.   Penutup
·   Hari ini kita memasuki Minggu Pra Paskah VI.  Saat ini kita diingatkan bahwa Yesus Sang Raja di atas segala raja itu mau dengan penuh ketaatan dan kerendahan hati menjadi sama dengan manusia, mengosongkan diri untuk taat memikul salib, yang penuh pengorbanan dan penderitaan itu.
Ÿ   Bila manusia pada umumnya punya kepentingan diri yang ingin dipenuhi secara maksimal sehingga kerapkali sadar tidak sadar menjadi serigala bagi sesama, homo homini lupus. Yang mencabik-cabik, menghancurkan dan memangsa sesamanya demi kepentingan diri terpenuhi.
Ÿ Tentu sebagai pengikut Kristus kita tidak boleh menjadi serupa dengan dunia yang seperti itu.  Andar Ismail menuliskan homo homini lupus itu ada lawannya: homo homini angelus ~ manusia menjadi malaikat bagi sesamanya, yang tidak punya keinginan atau hawa nafsu, gak punya kelemahan fisik.  Sulit bukan?
·   Jangan jadi serigala bagi sesama, tapi juga tidak mungkin jadi malaikat bagi sesama. Lalu apa yang bisa kita lakukan?  Homo homini homo! Jadi manusia bagi sesama manusia.  Yang peduli, bertenggang rasa, penuh kasih, rela berkorban, bertanggung jawab, bermartabat luhur.  Itulah manusia yang berspirit kenosis, pengosongan diri.
Ÿ   Selamat berkenosis, meneladan Tuhan Yesus.


(Kotbah Pdt. Danny Purnama, Minggu 29 Maret 2015)

No comments:

Followers

Terima Kasih Atas Kunjungan Anda


Kami Kerjalayan Kesehatan Anda

Kami Kerjalayan Kesehatan Anda