Saturday, May 20, 2017

Ringkasan Khotbah - 14 Mei 2017

“PULANG KE RUMAH BAPA”
Yohanes 14:1-14

Ada banyak persamaan kata untuk menunjuk pada satu fenomena yang pasti dialami oleh semua manusia, kematian. Ada yang menyebutnya “kembali kepada Bapa Surgawi”, “dipanggil oleh Tuhan”, wafat, kembali ke rakhmatullah, gugur, tewas atau meninggal dunia tetapi realitanya satu saja yaitu ‘mati’. Kita tidak pernah bisa menemukan waktu yang baik dan ideal untuk membicarakan fenomena yang satu ini, malah cenderung menghindarinya kendati pun pengalaman itu masuk dan dekat dengan kita. Dekorasi peristiwa kematian ditandai dengan beragam kamuflase dari bunga hidup yang indah mewangi sampai makam yang disulap menjadi taman yang indah. Kematian menjadi sebuah ‘apa boleh buat’ mesti dijalani meski pun banyak yang kurang suka, kalau pun suka karena terpaksa.

Tuhan Yesus yang sadar sejak semula bahwa Ia datang dari Bapa-Nya untuk melaksanakan satu misi yang berat tetapi baik sekali dampaknya bagi kesejahteraan kemanusiaan memberikan perspektif baru bagi pandangan terhadap kematian. Ia harus mati mengurbankan diri demi keselamatan dunia ini dan, injil Yohanes menggambarkan, Ia berani, tangguh, tegar serta tidak takut menghadapinya. Kematian-Nya di kayu salib tidak menggambarkan kehinaan atau aib dari sebuah tragedi yang ironis karena justru mendatangkan kehidupan yang baru dan bermutu sangat tinggi yang disebut sebagai hidup yang kekal. Yang kasat mata adalah kematian di kayu salib yang suka dianggap tragis, konyol dan fatalistik. Tetapi bagi Yesus mati adalah ‘pulang ke rumah Bapa dan menyediakan tempat bagi orang yang beriman kepada-Nya’. Kalau begitu barangkali juga ‘mati’ juga berarti ‘beristirahat dari segala kelelahan sesudah kerja kertas tuntas dan sempurna’. Kalau Dia mengucapkan ‘Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku!” (Luk 23:46), kalimat ini adalah doa orang Israel tradisional sebelum tidur yang diajarkan sejak mereka kanak-kanak – Requiscat in Pace (RIP).  Kematian menjadi ‘istirahat sorgawi’ dan ‘pulang ke rumah Bapa’.

Betul ‘dari debu tanah kembali kepada debu tanah’ tetapi itu bukan kata akhir sebab iman kepada Yesus yang bangkit membuat kata-kata Yesus menjadi kebenaran “Akulah kebangkitan dan hidup ....” (Yoh 11:29). Prasyarat untuk satu kebangkitan adalah kematian. Yesus mesti mati dulu untuk dibangkitkan tetapi bukan mati karena perkara yang konyol dan sia-sia melainkan mati karena mengerjakan pekerjaan-pekerjaan penyelamatan Bapa-Nya di sepenuh kehidupan-Nya. Orang yang beriman kepada-Nya juga harus mengalami hal yang sama. Kita mesti mati, dan mati punya makna simbolik tentang partisipasi kita pada kematian Yesus yang bermakna. Jangan takut mati karena mati adalah bagian dari kehidupan kekal yang akan sempurna nanti.


(disarikan dari khotbah pdt.em. Samuel Santoso, 14 Mei 2017 oleh ss)

No comments:

Followers

Terima Kasih Atas Kunjungan Anda


Kami Kerjalayan Kesehatan Anda

Kami Kerjalayan Kesehatan Anda