“PULANG KE RUMAH BAPA”
Yohanes 14:1-14
Ada banyak persamaan kata untuk
menunjuk pada satu fenomena yang pasti dialami oleh semua manusia, kematian.
Ada yang menyebutnya “kembali kepada Bapa Surgawi”, “dipanggil oleh Tuhan”,
wafat, kembali ke rakhmatullah, gugur, tewas atau meninggal dunia tetapi
realitanya satu saja yaitu ‘mati’. Kita tidak pernah bisa menemukan waktu yang
baik dan ideal untuk membicarakan fenomena yang satu ini, malah cenderung
menghindarinya kendati pun pengalaman itu masuk dan dekat dengan kita. Dekorasi
peristiwa kematian ditandai dengan beragam kamuflase dari bunga hidup yang
indah mewangi sampai makam yang disulap menjadi taman yang indah. Kematian
menjadi sebuah ‘apa boleh buat’ mesti dijalani meski pun banyak yang kurang
suka, kalau pun suka karena terpaksa.
Tuhan Yesus yang sadar sejak semula
bahwa Ia datang dari Bapa-Nya untuk melaksanakan satu misi yang berat tetapi
baik sekali dampaknya bagi kesejahteraan kemanusiaan memberikan perspektif baru
bagi pandangan terhadap kematian. Ia harus mati mengurbankan diri demi
keselamatan dunia ini dan, injil Yohanes menggambarkan, Ia berani, tangguh,
tegar serta tidak takut menghadapinya. Kematian-Nya di kayu salib tidak
menggambarkan kehinaan atau aib dari sebuah tragedi yang ironis karena justru
mendatangkan kehidupan yang baru dan bermutu sangat tinggi yang disebut sebagai
hidup yang kekal. Yang kasat mata adalah kematian di kayu salib yang suka
dianggap tragis, konyol dan fatalistik. Tetapi bagi Yesus mati adalah ‘pulang
ke rumah Bapa dan menyediakan tempat bagi orang yang beriman kepada-Nya’. Kalau
begitu barangkali juga ‘mati’ juga berarti ‘beristirahat dari segala kelelahan
sesudah kerja kertas tuntas dan sempurna’. Kalau Dia mengucapkan ‘Bapa, ke
dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku!” (Luk 23:46), kalimat ini adalah doa orang
Israel tradisional sebelum tidur yang diajarkan sejak mereka kanak-kanak –
Requiscat in Pace (RIP). Kematian
menjadi ‘istirahat sorgawi’ dan ‘pulang ke rumah Bapa’.
Betul ‘dari debu tanah kembali
kepada debu tanah’ tetapi itu bukan kata akhir sebab iman kepada Yesus yang
bangkit membuat kata-kata Yesus menjadi kebenaran “Akulah kebangkitan dan hidup
....” (Yoh 11:29). Prasyarat untuk satu kebangkitan adalah kematian. Yesus
mesti mati dulu untuk dibangkitkan tetapi bukan mati karena perkara yang konyol
dan sia-sia melainkan mati karena mengerjakan pekerjaan-pekerjaan penyelamatan
Bapa-Nya di sepenuh kehidupan-Nya. Orang yang beriman kepada-Nya juga harus
mengalami hal yang sama. Kita mesti mati, dan mati punya makna simbolik tentang
partisipasi kita pada kematian Yesus yang bermakna. Jangan takut mati karena
mati adalah bagian dari kehidupan kekal yang akan sempurna nanti.
(disarikan
dari khotbah pdt.em. Samuel Santoso, 14 Mei 2017 oleh ss)
No comments:
Post a Comment