Saturday, October 21, 2017

Ringkasan Khotbah - 15 Oct 2017

MENYAMBUT UNDANGAN TUHAN DENGAN SUKACITA
Matius 22:1-14
Tahun 2017 ini gereja-gereja Protestan merayakan 500 tahun Reformasi Gereja. Peristiwa yang diawali dengan Penempelan 95 pernyataan teologis kritis terhadap kondisi spiritualitas gereja yang semakin lebih duniawi dalam semua hal oleh Martin Luther pada tanggal 31 Oktober 1517 di pintu gereja puri Wittenberg. Momen itu datang ketika Johann Tetzel menjadi utusan Roma untuk mencari dana secara inkonvensional untuk pembangunan gedung di Roma dengan menjual Surat Indulgensia – Surat Pengampunan Dosa baik bagi yang masih hidup mau pun yang sudah mati lebih dulu – “ketika koin berdenting di kotak derma, satu jiwa melompat ke sorga dari api penyucian!” Ini berlaku baik bagi yang  masih hidup mau pun yang sudah mati. Para penguasa gereja memanipuli semangat umat untuk memperoleh kepastian keselamatan (jiwa terutama) dan masuk ke sorga sebegitu rupa untuk memperoleh uang. Tentu di luar hal yang semacam ini juga ada jenis yang lain tetapi dengan tujuan yang sama yakni bahwa menjadi biarawan sebagai tahapan yang paling tinggi yang bisa menjamin sorga dan terberkati di dunia. Martin Luther menjalaninya, ia menjadi Imam dari salah satu ordo yang paling keras – Ordo Eremit Agustin. Ia bukan sosok pribadi yang biasa-biasa saja tetapi punya bekal yang lebih dari cukup untuk juga menjadi pemimpin gereja yang luar biasa. Kepastian itu akhirnya dia peroleh ketika dia bergumul dengan surat Roma yang dilandasi oleh pemahaman iman bahwa manusia selamat hanya karena anugerah Tuhan saja (sola gratia)  dan mengimaninya (sola fide) yang kemudian menjadi semboyan utama gereja reformasi.

Bagi Marthin Luther, menggunakan istilah yang dipakai menjadi tema hari ini, kesadaran bahwa kita sudah selamat karena ‘gratia’ dan ‘fide’ itu adalah ‘perjamuan yang raja’ di mana kita diundang (dipanggil?) menjadi orang yang terhormat bagi Sang Raja. Hanya berbeda dengan ‘para undangan dalam perumpamaan Yesus’ yang dengan berbagai alasan yang egois sifatnya mengabaikan bahkan menolak undangan ini dengan sengaja, Luther menerimanya dengan sukacita, dan mengabdikan dirinya sepenuhnya bagi Tuhan. Dia menerima kehormatan dan menghormati Tuhan yang memanggilnya serta hidup dengan responsi yang pantas sebagai anak Tuhan. Bagi Luther tidak ada lagi sikap ‘do ut des’ – aku memberi supaya aku menerima – atau aku memberikan diriku kepada Tuhan supaya aku mendapat lebih banyak lagi (berkat) dari Tuhan. Memberikan diri sepenuhnya dengan tulus itu yang paling pantas dan Luther melakukannya sepenuh hati dengan penuh tanggungjawab serta berani.

Tentu kita tidak perlu semua menjadi sama seperti Luther (dan memang tidak bisa), ketika kita menghayati pesan Paulus di Filipi 4 maka itu sudah menjadi indikasi bahwa kita memang ‘berpesta dengan sukacita tetapi dengan ‘pakaian pesta’ yang sesuai dengan ‘pesta keselamatan Sang Raja’ itu. Ia adalah (a) semangat untuk terus menghadirkan injil Kristus, (2) hidup bersukacita sebagai lawan berkeluh kesah, (3) kebaikan hati yang meluap dengan tulus, (4) tidak kuatir dalam perkara apa pun, (5) hidup diwarnai dengan rasa syukur, (6) memiliki cara pandang positif untuk semua hal yang dialami dalam hidup, dan (7) menjadi teladan untuk hidup beriman dengan benar kepada Kristus.



(disarikan dari khotbah Pdt. Em. Samuel Susanto ,15 Oktober 2017 oleh ss)

No comments:

Followers

Terima Kasih Atas Kunjungan Anda


Kami Kerjalayan Kesehatan Anda

Kami Kerjalayan Kesehatan Anda