MENYAMBUT UNDANGAN TUHAN DENGAN SUKACITA
Matius
22:1-14
Tahun 2017 ini
gereja-gereja Protestan merayakan 500 tahun Reformasi Gereja. Peristiwa yang
diawali dengan Penempelan 95 pernyataan teologis kritis terhadap kondisi
spiritualitas gereja yang semakin lebih duniawi dalam semua hal oleh Martin
Luther pada tanggal 31 Oktober 1517 di pintu gereja puri Wittenberg. Momen itu
datang ketika Johann Tetzel menjadi utusan Roma untuk mencari dana secara
inkonvensional untuk pembangunan gedung di Roma dengan menjual Surat
Indulgensia – Surat Pengampunan Dosa baik bagi yang masih hidup mau pun yang
sudah mati lebih dulu – “ketika koin berdenting di kotak derma, satu jiwa
melompat ke sorga dari api penyucian!” Ini berlaku baik bagi yang masih hidup mau pun yang sudah mati. Para
penguasa gereja memanipuli semangat umat untuk memperoleh kepastian keselamatan
(jiwa terutama) dan masuk ke sorga sebegitu rupa untuk memperoleh uang. Tentu
di luar hal yang semacam ini juga ada jenis yang lain tetapi dengan tujuan yang
sama yakni bahwa menjadi biarawan sebagai tahapan yang paling tinggi yang bisa
menjamin sorga dan terberkati di dunia. Martin Luther menjalaninya, ia menjadi
Imam dari salah satu ordo yang paling keras – Ordo Eremit Agustin. Ia bukan
sosok pribadi yang biasa-biasa saja tetapi punya bekal yang lebih dari cukup
untuk juga menjadi pemimpin gereja yang luar biasa. Kepastian itu akhirnya dia
peroleh ketika dia bergumul dengan surat Roma yang dilandasi oleh pemahaman
iman bahwa manusia selamat hanya karena anugerah Tuhan saja (sola gratia) dan mengimaninya (sola fide) yang kemudian
menjadi semboyan utama gereja reformasi.
Bagi Marthin Luther,
menggunakan istilah yang dipakai menjadi tema hari ini, kesadaran bahwa kita
sudah selamat karena ‘gratia’ dan ‘fide’ itu adalah ‘perjamuan yang raja’ di
mana kita diundang (dipanggil?) menjadi orang yang terhormat bagi Sang Raja. Hanya
berbeda dengan ‘para undangan dalam perumpamaan Yesus’ yang dengan berbagai
alasan yang egois sifatnya mengabaikan bahkan menolak undangan ini dengan
sengaja, Luther menerimanya dengan sukacita, dan mengabdikan dirinya sepenuhnya
bagi Tuhan. Dia menerima kehormatan dan menghormati Tuhan yang memanggilnya
serta hidup dengan responsi yang pantas sebagai anak Tuhan. Bagi Luther tidak
ada lagi sikap ‘do ut des’ – aku
memberi supaya aku menerima – atau aku memberikan diriku kepada Tuhan supaya
aku mendapat lebih banyak lagi (berkat) dari Tuhan. Memberikan diri sepenuhnya
dengan tulus itu yang paling pantas dan Luther melakukannya sepenuh hati dengan
penuh tanggungjawab serta berani.
Tentu kita tidak perlu
semua menjadi sama seperti Luther (dan memang tidak bisa), ketika kita
menghayati pesan Paulus di Filipi 4 maka itu sudah menjadi indikasi bahwa kita
memang ‘berpesta dengan sukacita tetapi dengan ‘pakaian pesta’ yang sesuai
dengan ‘pesta keselamatan Sang Raja’ itu. Ia adalah (a) semangat untuk terus
menghadirkan injil Kristus, (2) hidup bersukacita sebagai lawan berkeluh kesah,
(3) kebaikan hati yang meluap dengan tulus, (4) tidak kuatir dalam perkara apa
pun, (5) hidup diwarnai dengan rasa syukur, (6) memiliki cara pandang positif
untuk semua hal yang dialami dalam hidup, dan (7) menjadi teladan untuk hidup
beriman dengan benar kepada Kristus.
(disarikan dari khotbah Pdt. Em. Samuel
Susanto ,15 Oktober 2017 oleh ss)
No comments:
Post a Comment