Saturday, May 12, 2018

Ringkasan Khotbah 13 Mei 2018


kamu adalah sahabat-ku
yohanes 15:9-17


Relasi Tuhan Yesus dengan para murid adalah relasi Hirarki. Tuhan Yesus pada tempat dihormati, dilayani, didengar dan dipatuhi. Sedangkan para murid ada pada posisi menghormati, melayani, mendengar dan mematuhi.
Pada bacaan Injil Minggu ini memperlihatkan bagaimana Tuhan mengubah relasi hirarkis tersebut menjadi relasi egaliter, relasi yang menempatkan pihak para murid sebagai yang setara, sama istimewa dan berharganya dengan diri-Nya.
Tentu ini beresiko besar bagi pihak Tuhan. Ia harus merendahkan diri-Nya, bersedia menerima kelemahan pihak sahabat-Nya, apa adanya, dengan segala kerapuhan dan kekuatannya. Tuhan juga harus bersedia membuka Diri, membeberkan semua rahasia-Nya dan bahkan rahasia Bapa-Nya dan berhadapan dengan resiko besar, dikhianati.
Relasi egaliter seperti itu juga membawa resiko bagi para murid, yaitu bahwa mereka harus berjuang menghidupkan nilai-nilai yang sama dengan Tuan-nya, agar persahabatan tersebut bisa berjalan.
Dan resiko lain, yaitu bahwa para murid harus membuktikan diri bahwa mereka memang sahabat yang dapat dipercaya dan diandalkan oleh Tuhan, Sahabat-nya. Serta kepada mereka diberikan tuntutan untuk berlaku seperti Sahabat itu memperlakukan mereka. 
Kita adalah Sahabat Kristus? 

    
                                      (disarikan dari khotbah Pdt. Evelyne Yudiarti, 06 Mei 2018 oleh ey)

Saturday, February 24, 2018

Ringkasan Khotbah 18 Feb 2018



PEMBAHARUAN HIDUP
Markus 1:15
           
Masa Prapaska diawali dengan Rabu Abu; melalui Kebaktian Rabu Abu, umat diharapkan untuk membuka diri dalam penyesalan akan dosa.  Perayaan Rabu Abu bukan sekedar acara yang diselenggarakan hanya sebagai pelengkap dari masa Prapaska. Kehidupan manusia telah rusak oleh dosa. Oleh sebab itu, perlu ada perbaikan supaya yang rusak dapat diperbaiki dan yang berantakan dirapihkan. Masa Prapaska, membawa kita untuk mengingat ulang jejak langkah Tuhan dan Juruselamat kita Kristus Yesus yang menderita demi kasih-Nya kepada manusia.

Kristus Yesus Tuhan yang hadir dalam kehidupan manusia supaya mengalami “Pembaharuan Hidup”. Kehadiran Kristus Yesus Tuhan adalah wujud dari kehadiran Kerajaan Allah. Seluruh kata atau ajaran-Nya serta tindakan-Nya adalah bukti “Tatanan Pemerintahan Allah” dalam kehidupan manusia.
Manusia bisa memahami dan mengikuti “Tatanan” tersebut apabila telah mengalami “Pembaharuan Hidup”, yaitu :

1. Bertobat/Pertobatan = “Metanoia” yang berarti  “perubahan batin”. Bukan sekedar mengatakan “ya, saya percaya”, tetapi dari hati yang terdalam menyesali dosa dan menanggalkannya. Membuang dosa dan tidak lagi hidup dalam dosa.
2.  Percaya kepada DIA, Tuhan yang menyatakan Kebenaran yang hakiki, Tuhan yang adalah sumber pengharapan dan kasih, yang selalu menepati “janji” penyertaan-Nya dan menganugerahkan keselamatan/Hidup Kekal.
3. Bagi setiap orang yang telah mengalami “Pembaharuan Hidup”, maka akan memiliki kekuatan untuk menghadapi setiap pergumulan dan tantangan hidup.  Perhatikan cerita Nuh; Melaksanakan perintah Tuhan untuk membuat bahtera, sekali pun orang–orang di sekelilingnya menertawakan dan menganggap aneh. Nuh tetap melaksanakan perintah Tuhan, dan selamat dari bencana air bah. 
4.  Kematian dan Kebangkitan Kristus adalah bukti kasih Allah yang membebaskan orang dari dosa. Mengakui diri sebagai orang/umat tertebus adalah hidup dalam kerelaan untuk mengabdi kepada Kristus Yesus Tuhan dengan kerendahan hati mengaku bahwa Kristus Tuhan adalah Raja.

Dengan demikian, orang yang telah mengalami ”Pembaharuan Hidup” adalah orang yang dipenuhi kasih Tuhan dan kerelaan (bukan merasa harus, terpaksa dan dipaksa), untuk melayani dalam ketaatan dan kesungguhan, apa pun yang menjadi resikonya.

                 (disarikan dari khotbah Pdt. Nur Wahyuni K.,18 Februari 2018 oleh nw)


Saturday, December 9, 2017

Ringkasan Khotbah 03 Desember 2017

TUNAS HARAPAN
Markus 13: 24 - 37

Pada Minggu 3 Desember 2017, kita memasuki Minggu Adven 1. Apa yang hendak disampaikan kepada kita pada Minggu Adven 1 ini? Pada minggu Adven 1 ini kita diajak untuk mempersiapkan diri kedatangan Tuhan kedua kali dengan sikap yang benar di hadapan Tuhan.
Kita tidak tahu kapan Tuhan Yesus datang untuk yang kedua kalinya. Oleh sebab itu, Tuhan Yesus meminta kita untuk mengembangkan sikap berjaga-jaga agar pada saat kedatanganNya yang kedua kali, kita didapatiNya sebagai hamba yang taat, setia, dan tidak bercacat cela di hadapan Tuhan.
Apa yang harus kita lakukan dalam berjaga-jaga menantikan kedatangan Tuhan?
1.   Mengembangkan sikap hidup dalam pertobatan.
Mengembangkan sikap hidup dalam pertobatan berarti kita menyadari bahwa kita tidak sempurna. Oleh sebab itu, kita selalu melakukan instropeksi diri agar arah kehidupan kita tetap berada dalam jalan yang dikehendaki Tuhan.

2.   Terus melakukan pembaruan diri.
Mereka yang hidup dalam sikap pertobatan akan terus melakukan pembaruan diri agar semakin sempurna atau berkenan di hadapan Tuhan. Ketika kita tidak lagi dalam proses pertumbuhan iman maka dimulailah proses pembusukan sikap dan tindakan dalam diri kita.
3.   Mengembangkan sikap hidup yang positif.
Yesus dalam Markus memang mengatakan bahwa sebelum kedatanganNya akan diawali dengan berbagai macam tanda. Tetapi sebenarnya fokusnya bukan pada tanda-tanda itu sendiri, melainkan pada apa yang terjadi setelah tanda- tanda itu yaitu, kedatangan Yesus yang mengubah atau membarui keadaan. Yesus menjadi harapan bagi terciptanya suasana baru yang lebih baik dari sebelumnya. Yesus menjadi tunas harapan bagi masa depan umat yang lebih baik.
Oleh sebab itu, salah satu sikap berjaga-jaga yang benar ialah berpikir positif dalam hidup. Fokus pada solusi bukan pada masalah. Yakin bahwa Tuhan selalu beserta dan menolong kita mengatasi masalah yang kita hadapi.
4. Menggunakan waktu hidup yang Tuhan berikan dengan melaksanakan hidup yang bertanggungjawab.
Hidup kita itu singkat dan terbatas. Oleh karena singkat dan terbatas maka waktu hidup yang Tuhan berikan itu sangat penting dan berharga.
Yesus meminta kita untuk mengisi hidup yang terbatas ini dengan melakukan tanggungjawab kehidupan kita dengan baik dan tepat sehingga hidup kita bermanfaat, jadi berkat, dan saluran berkat Tuhan bagi sesama melalui pekerjaan, karir, bisnis, usaha kita, dan aktifitas kegiatan lainnya yang kita lakukan setiap harinya.
Apabila kita semua dalam menantikan kedatangan Tuhan Yesus keduakalinya dapat melaksanakan sikap berjaga-jaga yang seperti ini, maka hari Tuhan di mana Tuhan datang adalah sebuah hari yang menggembirakan. Hari yang memberikan harapan dan sukacita bagi kita. Tuhan memberkati kita semua.


(disarikan dari khotbah Pdt. Jotje Hanri Karuh, 3 Desember 2017 oleh jhk)

Sunday, October 29, 2017

Ringkasan Khotbah - 22 Oktober 2017

Berkarya di Tengah Dunia
Matius 22:15-22

Faithful Presence adalah gaya kehadiran gereja di tengah dunia yang direkomendasikan oleh James Davison Hunter dalam bukunya yang berjudul To Change The World. Bahwa gereja seharusnya menjadi pihak yang setia hadir mendapingi dunia dalam segala kelemahan dan kelebihannya. Bekerja bersama meneruskan karya ciptaan Allah, bukan menarik diri atau memusuhi realita dunia yang ada. Gereja dapat berkarya di tengah dunia dengan anugrah yang Allah berikan. Dalam bacaan Injil Matius hari ini kita melihat bagaimana sikap Yesus yang tidak antipati dengan realita dunia yang kadang membuat dilema.
Kebencian orang Yahudi yang begitu besar terhadap Yesus memaksa mereka bekerja sama dengan kelompok Herodian yang berseberangan dengan mereka. Hal itu mereka lakukan demi menjatuhkan Yesus dan menangkap-Nya. Mereka datang dengan pertanyaan tentang membayar pajak yang saat itu membebani umat Yahudi dan membuat dilema secara spiritual. “Katakanlah kepada kami pendapat-Mu: Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?” Sebab membayar pajak kepada kaisar identik dengan mendukung kekuasaan kaisar yang sudah mengganggap dirinya seperti seorang dewa. Hal itu bertentangan dengan pandangan politik teokratis orang Yahudi, bahwa Allah adalah pemimpin tertinggi bangsa Israel. Tetapi di hadapan Yesus ada pula orang-orang Herodian, antek-anteknya Herodes yang siap menangkap-Nya jika Yesus mengajarkan untuk tidak membayarkan pajak kepada Kaisar. Yesus mengetahui niat mereka dibalik pertanyaan yang diajukan kepada-Nya. Oleh sebab itu Yesus memberikan jawaban yang bijaksana dan dapat diterima oleh orang-orang Farisi dan Herodian, “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah yang wajib kamu berikan kepada Allah.”
Yesus tidak menolak realita dunia tentang membayar pajak kepada Kaisar, tetapi Yesus juga tidak mengabaikan aspek spiritual tentang membayarkan pajak dan persambahan ke Bait Allah. Ketika kita hidup di dunia maka kita akan terikat dengan peraturan dunia, dalam hal ini Tuhan Yesus mengajarkan ketaatan dalam menjalankan peraturan dunia yang ada. Ketaatan terhadap peraturan dunia menjadi sebuah karya nyata bagi dunia. Ketaatan itu tidak disamakan dengan ketaatan kepada Allah, tetapi disejajarkan. Sebab setiap pemerintahan yang ada itu berasal dari Allah (Roma 13:1). Dalam kisah sebelumnya, yakni Matius 17:27 Yesus juga membayarkan pajak, Yesus memberikan teladan ketaatan itu.
Tahukah Saudara, bahwa tanah dimana gedung gereja GKI Kedoya ini berdiri adalah tanah milik Pemda DKI Jakarta dan GKI Kedoya wajib membayar pajak per lima tahun untuk ijin penggunaan bangunan? Dalam hal ini pemerintah menjadi partner bagi GKI Kedoya yang saling membantu. Pajak yang dibayarkan ke Pemda adalah untuk kepentingan umum bagi masyarakat DKI Jakarta. Yesus tidak antipati kepada dunia, bahkan kehadiran-Nya di dunia pun karena kasih-Nya yang besar. Gereja juga diundang untuk hadir mendampingi dunia dengan penuh kasih.

(disarikan dari khotbah Pnt. Adi Netto Kristanto ,22 Oktober 2017 oleh ank)



Saturday, October 21, 2017

Ringkasan Khotbah - 15 Oct 2017

MENYAMBUT UNDANGAN TUHAN DENGAN SUKACITA
Matius 22:1-14
Tahun 2017 ini gereja-gereja Protestan merayakan 500 tahun Reformasi Gereja. Peristiwa yang diawali dengan Penempelan 95 pernyataan teologis kritis terhadap kondisi spiritualitas gereja yang semakin lebih duniawi dalam semua hal oleh Martin Luther pada tanggal 31 Oktober 1517 di pintu gereja puri Wittenberg. Momen itu datang ketika Johann Tetzel menjadi utusan Roma untuk mencari dana secara inkonvensional untuk pembangunan gedung di Roma dengan menjual Surat Indulgensia – Surat Pengampunan Dosa baik bagi yang masih hidup mau pun yang sudah mati lebih dulu – “ketika koin berdenting di kotak derma, satu jiwa melompat ke sorga dari api penyucian!” Ini berlaku baik bagi yang  masih hidup mau pun yang sudah mati. Para penguasa gereja memanipuli semangat umat untuk memperoleh kepastian keselamatan (jiwa terutama) dan masuk ke sorga sebegitu rupa untuk memperoleh uang. Tentu di luar hal yang semacam ini juga ada jenis yang lain tetapi dengan tujuan yang sama yakni bahwa menjadi biarawan sebagai tahapan yang paling tinggi yang bisa menjamin sorga dan terberkati di dunia. Martin Luther menjalaninya, ia menjadi Imam dari salah satu ordo yang paling keras – Ordo Eremit Agustin. Ia bukan sosok pribadi yang biasa-biasa saja tetapi punya bekal yang lebih dari cukup untuk juga menjadi pemimpin gereja yang luar biasa. Kepastian itu akhirnya dia peroleh ketika dia bergumul dengan surat Roma yang dilandasi oleh pemahaman iman bahwa manusia selamat hanya karena anugerah Tuhan saja (sola gratia)  dan mengimaninya (sola fide) yang kemudian menjadi semboyan utama gereja reformasi.

Bagi Marthin Luther, menggunakan istilah yang dipakai menjadi tema hari ini, kesadaran bahwa kita sudah selamat karena ‘gratia’ dan ‘fide’ itu adalah ‘perjamuan yang raja’ di mana kita diundang (dipanggil?) menjadi orang yang terhormat bagi Sang Raja. Hanya berbeda dengan ‘para undangan dalam perumpamaan Yesus’ yang dengan berbagai alasan yang egois sifatnya mengabaikan bahkan menolak undangan ini dengan sengaja, Luther menerimanya dengan sukacita, dan mengabdikan dirinya sepenuhnya bagi Tuhan. Dia menerima kehormatan dan menghormati Tuhan yang memanggilnya serta hidup dengan responsi yang pantas sebagai anak Tuhan. Bagi Luther tidak ada lagi sikap ‘do ut des’ – aku memberi supaya aku menerima – atau aku memberikan diriku kepada Tuhan supaya aku mendapat lebih banyak lagi (berkat) dari Tuhan. Memberikan diri sepenuhnya dengan tulus itu yang paling pantas dan Luther melakukannya sepenuh hati dengan penuh tanggungjawab serta berani.

Tentu kita tidak perlu semua menjadi sama seperti Luther (dan memang tidak bisa), ketika kita menghayati pesan Paulus di Filipi 4 maka itu sudah menjadi indikasi bahwa kita memang ‘berpesta dengan sukacita tetapi dengan ‘pakaian pesta’ yang sesuai dengan ‘pesta keselamatan Sang Raja’ itu. Ia adalah (a) semangat untuk terus menghadirkan injil Kristus, (2) hidup bersukacita sebagai lawan berkeluh kesah, (3) kebaikan hati yang meluap dengan tulus, (4) tidak kuatir dalam perkara apa pun, (5) hidup diwarnai dengan rasa syukur, (6) memiliki cara pandang positif untuk semua hal yang dialami dalam hidup, dan (7) menjadi teladan untuk hidup beriman dengan benar kepada Kristus.



(disarikan dari khotbah Pdt. Em. Samuel Susanto ,15 Oktober 2017 oleh ss)

Followers

Terima Kasih Atas Kunjungan Anda


Kami Kerjalayan Kesehatan Anda

Kami Kerjalayan Kesehatan Anda